Di tengah banyak perusahaan rumah produksi berslaka nasional gencar memproduksi film-film terbaru, kalangan seniman di Sumatera Utara tak mau ketinggalan. Mereka pun berani terjun di industri ini.
Penulis: Midian Simatupang
H Amsyal terlihat sibuk di studio rumah produksi miliknya di Jalan Utama
No 1- A Helvetia, Medan, Rabu sore (21/8). Pria bertubuh tambun
berdarah Minang ini sedang meyelesaikan pembuatan film terbarunya.
"Bulan Juli lalu kita sudah selesai shooting film pendek "Padan".
Sekarang sedang tahap edit dan mejelang puasa 2013 kita membuat film
iklan TV menyambut Puasa " Ngongesa ", katanya.
H Amsyal sudah menggeluti dunia perfilman sejak tahun 1982. Awalnya ia
masih menjadi pemain di beberapa film produksi televisi Medan. Dua film
yang masih diingatnya adalah film "Menuai Badai" yang disiarkan program
akhir pekan, TVRI Nasional di Jakarta tahun 2002. Saat itu ia sebagai
peran utama.
Kemudian tahun 2008, ia bermain pada film sinetron “Anak Siampudan“ sebanyak 14 eposide.
Memiliki pengalaman di perfilman, ia pun mendirikan rumah produksi di bawah bendera PT Widy Production tahun 2007.
Di perusahan ini, ia merangkul tenaga profesional yang berpengalaman
seperti wartawan media cetak, kameranen televisi dan para seniman teater
untuk menggarap film. Sejumlah film karyanya adalah, film "Pesona
Wisata Langkat“, film Profile ”Kota Medan 314 Tahun“, Film Profil PT
Pertamani Medan Grup, VCD “ Sosialisasi Undang Undang Industri dan
Perdagangan “, Film Pendek “Padan“.
Ia melihat perfilman di Sumatera Utara akan semakin berkembang.
"Saya sangat optimis perfilman di Sumut maju dengan di buktikannya
sekarang banyak berdiri Production House di Sumut walaupun selama ini
pemerintah tak mendukungnya padahal di Undang-Undang Film sepenuhnya
tanggung jawab Pemerintah," katanya bersemangat.
Media Identitas
Berkembangnya industri perfilman di Sumatera Utara juga diakui Andi
Hutagalung. Menurut pendiri Media Identitas ini, film hasil karya anak
Medan kini sudah mendapat sambutan dari masyarakat Sumatera Utara. Ia
mencontohkan, film karyanya saat ini malah sudah ditunggu penonton
setianya.
"Sangat di tunggu-tunggu karena kontennya bicara lokal sosial dan
melibatkan langsung masyarakat lokal," ujarnya saat disinggung
sejauhmana sambutan masyarakat terhadap karyanya.
Di kalangan insan sineas Medan, nama Andi Hutagalung sudah tak asing
lagi didengar. Pria ramah dan murah senyum ini dikenal piawai dalam
menggarap film dokumenter. Bukti itu terukur dari tidak sedikit prestasi
diperoleh dari berbagai festival film. Film Opera Batak yang digarapnya
misalnya, meraih juara pertama di Festival Film Dokumenter di Bali
tahun 2011.
Kemudian juara pertama Lomba Video Dokumenter SOi Indonesia tahun 2010,
dan juara pertama Festival Film Kebudayaan Nasional 2012 yang
diselenggarakan Dinas Pariwisata dan Kebudayaan kota Medan.
Andi mengawali kariernya di industri perfilman dari ikut pelatihan di
sebuah lembaga (BMS) di kota Medan. Untuk mendalami dunia perfilman ia
rela menjadi relawan liputan video selama dua tahun.
"Dari awal itu saya jadi lebih tertarik untuk mendalaminya terus,
coba-coba buat film bersama dengan kawan-kawan di kampus ITM yang
akhirnya membuat sebuah komunitas film yg bernama KoFi 52, dan setelah
itu kami mendapatkan job kecil-kecilan dari lembaga anak-anak di kota
Medan," katanya mengisahkan perjalanan kariernya.
Seiring berjalannya waktu, ia memutuskan membuka usaha perfilman sendiri
dengan mengibarkan bendera Media Identitas pada tahun 2011. Selama
terjun di perfilman, sudah tujuh judul film fiksi pendek dan 18 judul
film dokumenter dihasilkannya.
"Saya mendirikan Media Identitas yang lebih terfokus di dalam bidang
spesialis videography yang mengerjakan video profil, video promosi,
video report, video klip, film dokumenter dan film fiksi sampai dengan
sekarang," pungkasnya.
Menurut Andi, agar industri perfilman di Sumatera Utara semakin maju ke
depan, kalangan pelaku industri perfilman harus berani membuat cerita
konten lokal, agar bisa sekalian mempromosikan daerah sendiri.
"Kerja-kerja seperti ini kita harus bersatu untuk merubah paradikma film
lokal, agar lebih dicintai di daerah kita sendiri, kalau bicara keluar
juga ini yang sangat dibutuhkan orang luar bisa melihat potensi lokal,"
tuturnya.
Opique Pictures
Semangat menggarap film lokal tak pernah kendur di pikiran M Taufik
Pradana. Meski sudah ratusan judul film dibuat, walau lebih banyak
produksi film durasi pendek. Diantaranya adalah dokumentasi acara, film
fiksi pendek, film dokumenter pendek, iklan produk, iklan layanan
masyarakat, videoklip, liputan feature bahkan poto slide.
Dalam waktu dekat, Ketua Umum Opique Pictures ini akan memproduksi lagi
film indie durasi panjang berjudul “Medan Buzzer”. Garapan film ini
bekerjasama dengan distro “punya medan” dan komunitas jejaring sosial
“medan buzzer”.
"Masih dengan cara kreatif indie yang masih serba kekurangan dalam hal
mekanisme dan pendanaan, namun sejauh ini beberapa UKM sudah di gandeng
dan beberapa sudah ada mendukung dana walau masih terkumpul minimal,"
ujarnya.
Komunitas Opique Pictures terbentuk berawal dari ketika ia masih duduk
di kelas dua SMA, dengan teman-temannya iseng-iseng mendokumentasikan
sebuah perjalanan pada tahun 2008 lalu dan tanpa sengaja membuat nama
produksi Opique Pictures.
Setelah mengetahui bagaimana cara sedernaha memproduksi film sederhana
dan Kemudian mengikuti ajang Festival Film Anak dan mendapatkan
penghargaan, menjadi motivasi dasar baginya mendalami dunia
sinematografi.
Tak kalah dengan rumah produksi lain, komunitas ini juga banyak menyabet
penghargaan dari berbagai ajang festival film diantarnya, Sutradara
terbaik versi film dokumenter di Festival Film Anak (FFA) pada tahun
2008, dalam film berjudul “Rumah Kita”, Editor terbaik versi film fiksi
FFA pada tahun 2009 dalam film berjudul “Gulungan Uang”, Aktor terbaik
versi film fiksi FFA pada tahun 2009 dalam film berjudul “Impian
Anakku”, juara dua film dokumenter FFA pada tahun 2010 dalam film
berjudul “Museum, Sejarah Yang terlupakan”.
"Saat ini komunitas kami masih beridiologi independen dan menguatkan
wadah penyaluran bakat. Lambat laun dari non komersil guna mambantu
usaha kawan, dan ternyata ini bisa di jadikan sumber pemasukan. Dari
dana yang didapat diputar menjadi modal produksi film idealis guna
mengikuti ajang kompetisi film lainnya," terangnya.
Aron Arts Production
Aron Arts Production juga sedang menggarap film terbarunya. Perusahaan
yang didirikan Joey Bangun ini tak lama lagi akan meluncurkan film
berjudul "Perlajangen" (Merantau).
Joy Bangun memang dikenal dengan identitasnya sebagai pembuat film khas
budaya Karo. Sudah sepuluh film yang diproduksinya, yakni berjudul Anak
Mami, Rondong Durhaka, Jinaka, Melumang La Kepaten, Erpudun La Erpadan,
Dalan Robah, Boru Panggoaran, Latersia Juma Peranin, dan Calon Bupati.
Yang memotivasi dirinya terjun di bidang perfilman karena ia ingin
merealisikan imajinasi pikiran pada kearifan lokal yang ada di Sumut.
Ia memulai profesinya di dunia film sejak tahun 2005. Saat itu ia
dikontrak sebagai Asisten Sutradara oleh sebuah production house di
Jakarta untuk memproduksi sinetron Bawang Merah Bawang Putih.
Besarnya cinta pada dunia perfilman mendorongnya untuk mendirikan usaha
sendiri. Tahap awal dilakukannya adalah mencoba menawarkan ke produser
lokal untuk menggarap video klip daerah.
"Setelah dia (produser lokal) puas, saya menawarkannya untuk membuat
film. Pelan-pelan beberapa produser mulai menghubungi saya dan saya bisa
membuat lebih banyak film," katanya mengisahkan.
Melihat peluang bisnis di perfilman cukup menjanjikan, ia akhirnya
mendirikan Aron Arts Production. Hasilnya pun tak sia-sia, karya filmnya
laku keras. "Sangat menguntungkan. Film saya paling sedikit laku
sepuluh ribu sampai dengan dua puluh lima ribu keping,".
Menurutnya, film mengisahkan kehidupan sosial masyarakat pasti laku di
pasaran karena televisi nasional hanya menggambarkan secara nasional
saja. "Film-film seperti akan semakin maju, apresiasi sangat mendukung,
hanya orang-orang kreatifnya yang masih kurang," paparnya.
Daniel Irawan
Pengamat perfilman Medan, Daniel Irawan, melihat fenomena banyak seniman
Medan memproduksi film beberapa tahun belakangan ini merupakan tanda
positif industri perfilman di Medan sedang bangkit. Hanya, kalangan
perfilman harus mampu meningkatkan kualitas dari satu produksi ke
produksi lainnya karena kebanyakan masih menyisakan semangat yang
luarbiasa besar, tapi belum kualitas hasil yang layak terutama film-film
indie.
Bagi kolektor film ini, perkembangan film-film dokumenter lebig bagus
ketimbang fiksi karena masih stuck di satu genre tanpa mau mencoba
berkembang ke genre lain. "Kalaupun ada hanya satu-dua. Selebihnya
melulu hanya drama," terangnya.
Menurut Daniel, agar usaha industri perfilman di Medan bisa menjanjikan,
perlu lebih banyak diadakan workshop-workshop penguasaan teknis karena
film adalah sebuah karya visual yang padu, bukan hanya sekedar rekaman
gambar tanpa arah.
"Itu yang masih sering terjadi di film-film indie kita. Bahkan, film
daerah juga masih sering berhadapan dengan masalah yang sama.
Kualitasnya tak meningkat dan pembuatnya terlena dengan hasil penjualan
yang kenyataannya cukup tinggi," paparnya.
Daniel Irawan dikenal kalangan perfilman di Medan sejak menjadi penulis
review film di sebuah harian di Medan sejak tahun 1997. Lama kelamaan,
hobinya ini berkembang ke aktifitas blogging. Ia banyak menulis tentang
film di blognya (danieldokter.wordpress.com) dan akun twitter
@danieldokter.
Tujuannya, agar lebih menjangkau pembaca dan networking yang lebih luas
ke orang-orang dalam industri perfilman, tentunya memiliki pandangan
yang sama.
Aktif menulis tentang film di blognya, dilirik beberapa media nasional
menjadi penulis. Pengetahuannya yang banyak tentang perfilman memberi
peluang menjadi juri di beberapa festival film. Bahkan, di industri film
nasional, ia dipakai sebagai konsultan skrip atau produksi, salah
satunya film ‘Finding Srimulat’.
Tak hanya sebagai pengamat dan penulis, pada tahun 2002 ia bersama
rekan-rekan yang juga punya passion yang sama membuat film indie
berjudul ‘Hacker’ untuk sebuah festival film indie di TV swasta. Lantas
di tahun 2005 membuat film ‘Lifeline’ dan sebuah short parody yang
akhirnya memenangkan kompetisi ‘Shoot It and Spoof It’ di MTV Movie
Awards, LA.
"Baru-baru ini saya juga membuat film indie ‘Untuk Ibu’ buat sebuah
festival film indie selain terlibat di beberapa film indie yang dibuat
oleh komunitas film indie di Medan dan Oktober nanti diundang sebagai
film journalist dalam event Tokyo International Film Festival di
Jepang," paparnya.
sumber
sumber