Perkembangan Perfilman Indonesia, hmm.. sebenarnya Film di Indonesia pertamakali diperkenalkan pada 5 Desember 1900 di Batavia (Jakarta). Pada masa itu film disebut Gambar Idoep”. Pertunjukkan film pertama digelar di Tanah Abang. Film adalah sebuah film dokumenter yang menggambarkan perjalanan Ratu dan Raja Belanda di Den Haag. Pertunjukan pertama ini kurang sukses karena harga karcisnya dianggap terlalu mahal. Sehingga pada 1 Januari 1901, harga karcis dikurangi hingga 75% untuk merangsang minat penonton.
Film cerita pertama kali dikenal di Indonesia pada tahun 1905 yang diimpor dari Amerika. Film-film impor ini berubah judul ke dalam bahasa Melayu. Film cerita impor ini cukup laku di Indonesia. Jumlah penonton dan bioskop pun meningkat. Daya tarik tontonan baru ini ternyata mengagumkan.
Pada tahun 1926, Indonesia membuat film lokal pertama yang berjudul Loetoeng Kasaroeng diproduksi oleh NV Java Film Company. menyusul selanjutnya adalah Eulis Atjih yang diproduksi oleh perusahaan yang sama. Setelah film kedua ini diproduksi, muncul perusahaan-perusahaan film lainnya seperti Halimun Film Bandung yang membuat Lily van Java dan Central Java Film Coy (Semarang) yang memproduksi Setangan Berlumur Darah.
Industri film lokal sendiri baru bisa membuat film bersuara pada tahun 1931. Film ini diproduksi oleh Tans Film Company bekerjasama dengan Kruegers Film Bedrif di Bandung dengan judul Atma de Vischer. Selama kurun waktu itu (1926-1931) sebanyak 21 judul film (bisu dan bersuara) diproduksi. Jumlah bioskop meningkat dengan pesat. Filmrueve (majalah film pada masa itu) pada tahun 1936 mencatat adanya 227 bioskop.
Untuk lebih mempopulerkan film Indonesia, Djamaludin Malik mendorong adanya Festival Film Indonesia (FFI) I pada tanggal 30 Maret-5 April 1955, setelah sebelumnya pada 30 Agustus 1954 terbentuk PPFI (Persatuan Perusahaan Film Indonesia). Film Jam Malam karya Usmar Ismail tampil sebagai film terbaik dalam festival ini. Film ini sekaligus terpilih mewakili Indonesia dalam Festival Film Asia II di Singapura. Film ini dianggap karya terbaik Usmar Ismail. Sebuah film yang menyampaikan kritik sosial yang sangat tajam mengenai para bekas pejuang setelah kemerdekaan.
Kebangkitan perfilman Indonesia
Tahun 1970-an dapat di katakan sebagai bangkitnya era perfilman Indonesia, Papa dan Mama kita dulu mungkin masih terngiang-ngiang dengan film-film lama seperti Ali Topan Anak Jalanan, Romi dan Yuli, dan lain sebagainya, meski demikian jumlah film yang di produksi saat itu masih 604 judul, tapi semuanya berkualitas. dan dialog masih sangat kaku dengan menggunakan kata ganti AKU dan KAU.
Memasuki era 1980-an produksi film di tanah air menjadi 721 judul film, Temanya juga bervariasi, era itu adalah eranya Warkop dan H. Rhoma Irama film-film mereka selalu laris bak kacang goreng. Salah satu momentum bersejarah di era 1980-an adalah screeningnya film Pengkhianatan G-30S/PKI yang penontonnya (meskipun ada campur tangan pemerintah Orde Baru) sebanyak 699.282. di akhir era 1980-an nama Lupus dan Catatan si Boy menjadi ikon tersendiri. Menjelang era 1990-an film-film karya Cinta dalam Sepotong Roti mampu memenangkan berbagai penghargaan di festival film internasional
Terpuruknya Perfilman Indonesia
Era 1990-an dapat dikatakan sebagai Kiamatnya perfilman Indonesia, hal ini disebabkan maraknya sinetron di televisi-televisi swasta. Praktis semua aktor dan aktris panggung dan layar lebar beralih ke layar kaca. Selain itu tema yang selalu menjadi Bumerang bagi perfilman tanah air adalah tema Horror sex, di era 1990-an judul-judul film Indonesia amat sangat vulgar contoh Misteri Janda Kembang, Noktah merah perkawinan, Gairah Terlarang, Meski sejumlah aktor Hollywood kelas B seperti Frank Zagarino, Chintya Rothrock, David Bradley turut meriahkan dunia film tanah air, kondisi penonton tetap tak berubah, Mimin masih ingat judul film warkop terakhir di layar lebar yaitu "Saya duluan dong" setelah itu film tanah air jadi mati suri... Anehnya saat terpuruknya perfilman tanah air banyak yang menyalahkan pihak Amerika (Hollywood) dan Bioskop 21. Namun di sisi lain, di era 1990-an banyak komunitas film-film independen. Beliau-beliau inilah yang akan membangkitkan perfilman tanah air di awal 2000-an
Dunia baru perfilman tanah air
Awal 2000-an sempat muncul salah satu film anak yang menjadi legendaris saat itu, "Petualangan Sherina" dibintangi Derby Romeo, Sherina Munaf. bisa dikatakan "Petualangan Sherina" adalah oase di tengah sepinya bioskop tanah air. Lalu di tahun 2002 muncul pula film fenomenal lainnya yaitu "Ada Apa Dengan Cinta", "Jaelangkung", dan lain sebagainya. Film Indonesia pun menemukan kembali ruhnya. Genre film juga kian variatif, alhasil di tahun-tahun berikutnya penonton mulai tertarik untuk menonton film Nasional, film-film seperti "Heart", "Naga Bonar Jadi Dua", "Ayat-Ayat Cinta" adalah film-film yang mendapat jumlah penonton tertinggi. Bahkan Film Indonesia mampu bersaing dengan film Hollywood secara sehat.
Meski Demikian Perfilman Indonesia masih saja dirusak oleh oknum-oknum Mr. X yang hanya mencari keuntungan kesempatan dalam kesempitan dengan membuat film-film Horror Sex, (admin heran di kota mana sih yang jumlah penonton Horror Sexnya meningkat). Hal ini justru membuat Film Nasional yang bagus menjadi seperti batu diantara lelumutan, lama-lama lumut itu bisa menghancurkan batu itu sendiri, meski sekokoh apapun batu itu.
Di tahun 2011 terjadilah sebuah peristiwa yang justru menjadi Bumerang bagi perfilman tanah air, yaitu Kisruh Film Impor, apalagi di tahun itu Film-film Horror Sex seperti "Goyang Jupe-Depe" dan lain sebagainya menjadi Jamur, Menjamur dimana-mana. Penonton menjadi risih, mereka menginginkan Hollywood kembali seperti dulu, meskipun diantara menjamurnya film Horror Sex itu terdapat film - film berkualitas seperti "tanda tanya" Hanung Bramantyo.
Akhirnya Film Hollywood kembali hadir di tanah air pada bulan Ramadhan tahun itu (admin lupa bulannya mungkin sekitar Juli - Agustus)
Menurut Admin peristiwa kisruh film Hollywood tahun lalu para moviemaker semakin kreatif, film-film Horror Sex menjadi semakin sedikit di tahun ini. sementara film-film Berkualitas seperti The Raid, 5 CM, Garuda di Dadaku 2 (di publish tahun 2011 setelah kisruh). semakin banyak. Ya mimin, berharap semoga kondisi seperti ini berlangsung selamanya, Apalagi salah seorang aktor Indonesia Joe Taslim main film di Fast Six (Pertama kalinya aktor Indonesia main film Blockbuster), mimin pernah berkhayal bahwa akan ada aktor Indonesia mengucapkan Alhamdulillah saat perhelatan academy awards. Ini membuktikan bahwa aktor kita bukanlah aktor kacangan, terlebih lagi yang telah dan akan bermain film di tanah air bukanlah aktor kelas B. Nama-nama seperti Julia Roberts, Mickey Rourke bukanlah nama-nama seperti Chintya Rothrock atau pun Frank Zagarino. Julia Roberts dan Mickey Rourke pernah meraih oscar. Sedangkan Rothrock dan Zagarino adalah aktor-aktor yang filmnya banyak diedarkan dalam bentuk DVD.
Sayangnya, sifat orang Indonesia masih suka latah, jika sedang ramai horor, banyak yang mengambil tema horor, begitu juga dengan tema-tema remaja/anak sekolah. lihat saja setelah sukses AADC, Muncul film Cinta Pertama, atau film-film cinta lainnya setelah sukses Laskar Pelangi muncul pula film si Brandon (mimin lupa judulnya) dan sudah berapa banyak film-film anak yang meski berkualitas tapi kurang laku. Setelah sukses film Ayat-ayat cinta dan Ketika Cinta Bertasbih, film-film seperti Perempuan berkalung Sorban malah hadir. Sinetron-sinetron tentang religi percintaan pun tak terhitung jumlahnya.
Latah, mungkin gak hanya di alami orang Indonesia, di dunia perfilman Hollywood juga begitu, sadarkah teman bahwa tema-tema yang diusung film Hollywood saat ini sebagian besar diangkat dari Novel, Komik, tapi yang menjadi kekuatan adalah bagaimana cara mereka meramu, meski kadang ramuan mereka terasa sinting, seperti mengubah-ubah dongeng. Manusia memiliki sifat ingin sesuatu yang baru dan hal inilah yang dimanfaatkan Hollywood, Korea, dan negara maju lainnya.
Sumber