PEMAHAMAN DASAR DOKUMENTER




Dokumenter merupakan bentuk film yang merepresentasikan sebuah realita, dengan melakukan perekaman gambar sesuai apa adanya. Adegan peristiwa yang sifatnya alamiah atau spontanitas akan selalu berubah serta cukup sulit diatur, sehingga perlu konsentrasi pada tingkat kesulitan yang dihadapi, sekaligus dengan pemikiran yang kreatif. 
Sineas dokumenter ketika mengawali kerjanya itu sudah harus memiliki ide dan konsep jelas, mengenai apa yang akan disampaikan dan bagaimana menyampaikannya secara logis serta mampu memukau penonton, berdasarkan aspek-aspek dramatik yang mampu direpresentasikannya.
Dokumenter bukan Reportase
Dokumenter bukan Dokumentasi

Sineas dokumenter bukan reporter tetapi seorang observator, apabila apa yang terlihat dipermukaan bagi reporter sudah memadai, sedangkan bagi sineas dokumenter justru baru bagian awal. Pembuat dokumenter perlu mengeksplorasi lebih dalam lagi apa yang ada dibalik maupun sebab akibat dari peristiwa serta pengalaman dan latar belakang para pelaku peristiwa (subjek) tersebut.
Fakta apa yang harus diketahui penonton untuk mengikuti dan memahami film anda?. Kalimat ini merupakan pijakan sutradara untuk merancang konsep penuturan bagi filmnya. Sineas dokumenter harus memiliki sudut pandang dan pengamatan kuat terhadap objek dan subjeknya, sehingga penafsiran atau interpretasi sutradara tidak merubah konstruksi dan kronologi fakta yang ada. Interpretasi sutradara dapat memenggal-menggal kenyataan yang ada, maka menggunakan tehnik direct sounddapat menjaga dan memagari kesinambungan kenyataan tersebut. Interpretasi terhadap sebuah adegan kisah realita tidak sebebas seperti pada adegan cerita fiksi. Apabila seorang sutradara dokumenter salah atau keliru menginterpretasikan suatu adegan dari peristiwa nyata, itu berarti memanipulasi kenyataan serta mengelabui kepercayaan penontonnya. Tujuan membuat film dokumenter untuk mengelabui atau memanipulasi realita, itu dapat ditemui pada film dokumenter bertujuan propaganda politik.
Untuk memberikan sentuhan estetika pada filmnya, ada empat topik utama yang menjadi konsentrasi sutradara, yaitu mengenai pendekatangayabentuk dan struktur. Ini merupakan teori dasar yang dijadikan bahan ramuan bagi sutradara untuk menggarap filmnya dengan baik. Belakangan ini terlihat beberapa dokumentaris pemula mulai menggarap film mereka tanpa memperdulikan teori dasar film yang dapat memberikan sentuhan estetika dramatik pada karya mereka. Hal ini didasari suatu keinginan secara instan membuat sebuah film dokumenter, disertai argumentasi bahwa isi adalah yang utama sedangkan estetika adalah masalah berikutnya. Akibatnya pemahaman terhadap perbedaan antara bentuk film berita dengan film dokumenter menjadi rancu.

PENDEKATAN
Ada dua hal yang menjadi titik tolak pendekatan dalam dokumenter, yaitu apakah penuturan di ketengahkan secara essai atau naratif. Keduanya memiliki ciri khas yang spesifik dan menuntut daya kreatif kuat dari sutradara. Pendekatan essai dapat dengan luas mencakup seluruh peristiwa, yang dapat diketengahkan secara kronologis atau tematis. Menahan perhatian penonton untuk tetap menyaksikan sebuah pemaparan essay selama mungkin itu cukup berat, karena umumnya penonton lebih suka menikmati sebuah pemaparan naratif. Sebagai contoh, bila kita mengetengahkan selama 30 menit tentang peristiwa peledakan bom di Kuta Bali secara essai, mungkin ini masih cukup menarik. Akan tetapi bila durasi di perpanjang menjadi 60 menit maka ini cukup sulit untuk menahan perhatian penonton. Dengan demikian kita perlu menampilkan tentang sosok profil dan kehidupan si pelaku kebiadaban itu, serta dampak penderitaan yang menimpa para korbannya, sekaligus untuk memperkuat aspek human interest.
Pendekatan naratif mungkin dapat dilakukan dengan konstruksi konvensional tiga babak penuturan. Sebagai contoh: pada bagian awal untuk merangsang keingintahuan penonton, diketengahkan tentang bagaimana peristiwa itu terjadi yang memakan korban ratusan jiwa tak berdosa. Pada bagian tengah di kisahkan bagaimana profil para teroris serta latar belakang kehidupannya dan motivasi kebiadabannya itu, sebagai proses menuju tindakan peledakan bom. Di bagian akhir mungkin dapat di paparkan mengenai bagaimana dampak yang di terima para korban ledakan bom sebagai suatu klimaks yang dramatik, ditambah sejumlah pesan kemanusiaan mengenai terorisme dan kekerasan yang sedang mewabah di Indonesia.        
Menurut saya tak ada salahnya bila menggunakan kombinasi dari kedua pendekatan ini, dengan catatan harus sesuai dengan bentuk penuturan serta isi tema yang akan disampaikan. Sehingga dinamika kreatifitas dapat dituangkan sepenuhnya untuk dapat menuntun penonton agar tetap memperhatikan isi film.
Umumnya setiap isi penuturan dalam film memerlukan pembingkaian (framing) dansudut pandang (point of view), untuk menerangkan dari sisi mana dan siapa yang bertutur dalam film tersebut. Oleh karena itu diperlukan adanya  semacam karakter atau tokoh yang akan menuturkan isi dan pesan dari film, di dalam film dokumenter biasa di istilahkan dengan benang merah penuturan (karakter yang mengikat keseluruhan cerita). Karakter tersebut dapat menjadi semacam identitas yang dapat membangun rangsangan emosi.
Karakter memberikan sebuah observasi terhadap pola berpikir maupun tindakan aksi subjek sebagai reaksi kepada suatu sebab akibat. Apabila film anda memiliki subjek maka sudut pandang subjek tersebut yang dijadikan kunci aksi didalam bertutur. Selain itu karakter dapat pula diposisikan sebagai yang bercerita mengenai tokoh atau subjek itu sendiri, dengan menempatkannya secara in-frame (berinteraksi langsung dengan subjek) atau out-frame (melalui narasi/voice-over). 

GAYA

Membicarakan masalah gaya dalam film dokumenter merupakan suatu pembicaraan yang tak ada habisnya, karena gaya terus menerus berkembang sesuai kreatifitas sang dokumenteris. Gaya dalam dokumenter terdiri dari bermacam-macam kreatifitas, seperti gaya humoris, puitis, satir, anekdot, serius, semi serius dan sterusnya. Kemudian dalam gaya ada tipe pemaparan eksposisi (Expository documentary) yang konvensional, umumnya merupakan tipe format dokumenter televisi dengan menggunakan narator sebagai penutur tunggal. Oleh karena itu narasi disini disebut sebagai Voice of God  karena aspek subjektifitas dari narasi/narator, anda bisa lihat contoh kemasan dokumenter  pada tayangan Discovery chanel dan National Geographic.
Dipihak lain adapula tipe observasi (Observational documentary) yang hampir tidak menggunakan narator, akan tetapi berkonsentrasi pada dialog antar subjek-subjeknya. Pada tipe ini sutradara menempatkan posisinya sebagai observator. Frederik Wisseman dalam “High School I & II” melalui kamera dia hanya mengamati semua kejadian yang terjadi setiap hari di sebuah sekolah menengah umum di Philadelphia, Amerika Serikat. Wiseman berusaha mengetengahkan konflik yang terjadi antara sesama murid, guru dengan murid, hingga antara murid, guru, dan orang tua murid. Akan tetapi konflik yang ditampilkan tak mampu memberikan aspek dramatik, sehingga alur penuturan terasa datar. Konsep Wisseman terlihat sederhana yaitu hanya merekam kejadian sehari-hari yang ada di sekolah itu, filmya itu dianggap mampu menerapkan metode cinema verite, dan menjadi materi bahasan dihampir setiap literatur dokumenter, meskipun butuh kesabaran untuk menikmati film yang terasa monoton itu.
Adapula sutradara yang berperan aktif dalam filmnya, dimana komunikasi sutradara dengan subjeknya ditampilkan dalam gambar (in frame), dengan tujuan memperlihatkan adanya interaksi langsung antara sutradara dengan subjek, ini merupakan gaya Interaktif (Interactive documentary). Apabila ada wawancara maka tipe ini tidak sekedar memperlihatkan adegan wawancara tetapi sekaligus memperlihatkan bagaimana wawancara itu dilakukan. Disini sutradara memposisikan diri bukan sebagai observator tetapi justru sebagai partisipan. Gaya ini dapat di lihat pada karya Michael Moore dalam“Bowling for Columbine” (2002) dan “Fahrenheit 9/11” (2003), dimana sutradara menjadi benang merah di dalam menuntun alur penuturan dalam film tersebut.
Gaya yang kini sangat jarang ditemui adalah gaya dimana film tersebut merupakan sebuah refleksi (Reflexive documentary) dari proses pembuatan (shooting) film tersebut. Dokumentaris Rusia Dziga Vertov merupakan pelopor dalam gaya ini. Dengan filmnya yang berjudul “Man with the movie camera” (1928), Vertov hanya bertujuan merefleksikan dua prinsip teorinya mengenai apa itu film kebenaran (Kino Pravda=Film Truth), dimana semua adegan harus sesuai apa adanya. Kemudian dia menekankan bahwa  kamera sebagai mata film (film eye) merekam realita tiap adegan yang di susun kembali  berdasarkan pecahan shot yang dibuat. Gaya refleksi lebih jauh daripada interkatif karena, fokus utama adalah menuturkan proses pembuatan shooting film ketimbang menampilkan keberadaan subjek (karakter) dalam film.
Gaya yang sudah mendekati film fiksi adalah gaya pervormatif (Performative documentary) karena disini yang lebih diperhatikan adalah kemasannya yang harus semenarik mungkin. Bila umumnya dokumenter tidak mementingkan alur penuturan (plot) pada gaya ini justru diperhatikan. Sebagian mengkategorikannya sebagai film semi-dokumenter. Dokumentaris Errol Morris dalam filmnya “The Thin Blue Line” (1988) merepresentasikan sebuah peristiwa pembunuhan terhadap seorang polisi bernama Robert Wood di Dallas, Amerika Serikat pada tahun 1976. Kasus ini menjadi kontrovesial karena yang dituduh dan dihukum adalah seorang tuna wisma Randall Adams, sedangkan saksi kunci mengatakan pembunuhnya adalah orang lain. Isi cerita didasarkan hanya pada sebuah testimoni serta daya ingat dari para saksi mata. Sehingga bentuk penuturan menjadi seperti sebuah investigasi terhadap kebenaran kasus pembunuhan yang hingga kini tetap gelap. Gaya Morris cukup genit dengan menggunakan tipe shot yang variatif seperti pada film fiksi, hal ini dapat terjadi karena isi cerita dapat direkonstruksi ke dalam naskah (shooting script) sehingga perekaman gambar dapat dilakukan seperti membuat film fiksi, hal ini dapat dilakukan pada dokumenter dengan bentuk penuturan investigasi.

BENTUK
Pada hakikatnya bentuk penuturan pun masih termasuk di dalam bingkai gaya, hanya saja lebih spesifik. Pada prinsipnya setelah mendapatkan hasil riset, kita sudah dapat menggambarkan secara kasar bentuk penuturan apa yang akan kita pakai. Dengan menentukan sejak awal bentuk apa yang akan dikemas, maka selanjutnya baik itu pendekatan, gaya, struktur akan mengikuti ide dari bentuk tersebut. Misalnya bila kita menginginkan bentuk penuturan laporan perjalanan, maka pendekatan, gaya dan strukturnya dapat di rancang bangun, sehingga baik aspek informatif, edukatif maupun hiburan dapat menyatu sehingga memikat perhatian penonton.
Bentuk tidak harus berdiri sendiri secara baku, karena sebuah tema dapat saja merupakan gabungan dari dua bentuk penuturan. Misalnya bentuk penuturan potret dapat saja digabungkan dengan nostalgia atau perbandingan, atau bentuk nostalgia dengan isi penuturan yang mengetengahkan sebuah kontradiksi dari subjek. Sebuah kisah tentang nostalgia dari seorang wartawan perang Inggris yang kembali ke Afganistan setelah selang beberapa tahun, akan memberikan gambaran perbedaan atau kontradiksi mengenai kondisi masa lampau dan masa kini. Perlu disadari bahwa bentuk memang perlu tetapi bukan berarti  membatasi kreatifitas anda, justru sebaliknya harus memperkaya daya kreativitas dengan kemampuan interpretasi visi visual yang mampu mengetengahkan sebuah peristiwa kehidupan secara apa adanya dengan kemasan yang memikat.

STRUKTUR
Apa yang dimaksud dengan struktur disini adalah rancangan konstruksi untukmenyusun/menyatukan berbagai unsur film sesuai dengan apa yang menjadi ide dari penulis atau sutradara berdasarkan tema. Teori film dasar pada penulisan naskah terdiri dari rancang bangun cerita yang memiliki tiga tahapan dasar yang baku seperti: bagian awal cerita (pengenalan/introduksi), bagian tengah cerita (proses krisis&konflik) hingga bagian akhir cerita (klimaks/anti klimaks). Ketiga bagian ini merupakan rangkuman dari susunan shot yang membentuk adegan (scene) hingga sekwens (sequence). Akan tetapi perlu diketahui bahwa pemahaman mengenai struktur film tidak sesederhana seperti yang dikemukakan disini. Struktur film memiliki makna estetika, psikologis dan bahasa sinematografi yang lebih luas lagi.
Menentukan struktur bagi dokumenter tidak semudah pada film cerita fiksi, terutama bila sutradara belum menentukan pendekatan apa yang akan dilakukan berkaitan dengan ide dan tema. Harus diakui bahwa struktur lebih dipentingkan oleh film fiksi dari pada film dokumenter, akan tetapi seni tanpa struktur akan mengalami kekeringan estetika. Penulis mengakui pula bahwa struktur yang merupakan tulang punggung penuturan oleh kebanyakan sutradara dokumenter kadang tidak begitu di perdulikan. Struktur penuturan dalam dokumenter dapat di bagi kedalam dua cara umum yaitu, secara kronologis dantematis. Kedua cara ini sekaligus pula merupakan refleksi dari pendekatan esai dan naratif tadi. Struktur kronologis lebih mudah merancangnya dibanding tematis. Kelebihan struktur tematis ialah kemampuannya merangkum penggalan-penggalan sekwens (sequence) yang kadang tidak berkesinambungan, tetapi dapat di rangkai menjadi suatu kesatuan sebab isi dan tema menjadi bingkai cerita.

SINEAS DOKUMENTER
Seorang sineas dokumenter (dokumentarisperlu banyak membaca, banyak mengamati lingkungannya, berkomunikasi dengan semua lapisan masyarakat, berdiskusi dengan kelompok-kelompok masyarakat yang memiliki aktivitas sosial dan budaya. Seorang dokumentaris adalah seorang pelahap semua bahan bacaan dan rajin membuat kliping tulisan atau berita dari semua media cetak. Karena setiap hari bahkan setiap jam, ada saja peristiwa yang terjadi dan merupakan suatu pengalaman hidup manusia yang mungkin saja menarik untuk di jadikan tema bagi sebuah produksi dokumenter.
Secara khusus sineas dokumenter adalah individu yang harus kreatif. Menguasai teori film dan sinematografi saja tidak cukup, karena disamping itu harus memiliki pengetahuan umum luas dari berbagai disiplin ilmu lainnya. Kemampuan intelektual(akademis) sangat diperlukan karena membuat dokumenter bertujuanmerepresentasikan kehidupan semua mahluk hidup seperti manusia, hewan, tumbuh2an, lingkungan alam  yang ada di muka bumi ini secara menarik dan dramatik.
Sebagai sutradara harus menguasai konsep sinematografi, yang memiliki tujuan atau motivasi ketika merepresentasikan bahasa visual melalui media audiovisual, sehingga tidak sekedar kreatifitas eksperimental belaka. Minimal Sutradara harus memahami makna dan tujuan dari metode dasar seperti:
1.    Gerak Kamera (pan, tilt, crabs, track, dollie)
2.    Kesinambungan/kontinuiti  (shot, scene, sequence, screen direction)
3.    Memotivasi emosi penonton
4.    Cutaways (untuk menyingkat waktu dan merubah point of view, terutama bila mengalami kesalahan screen direction)
5.    Makna shot (memahami dampak dari tipe2 shot pada emosi penonton)
6.    Lensa (pemahaman jenis lensa dan tujuan penggunaannya)

Sutradara harus memiliki kejelasan visi dan maksud dari apa yang akan disampaikan dalam film tersebut, disamping yakin pada apa yang mejadi fokus dari isi penuturan serta pesan yang hendak disampaikan. Memiliki pendekatan dan gaya (style) dalam merepresentasikan karyanya itu. Bertanggung jawab serta tegas dalam mengambil keputusan, akan tetapi bukan berarti harus menolak setiap pendapat dari rekan kerjanya.
Mampu mendengarkan, mengobservasi setiap masukan ide, mampu mengadaptasi dan menghayati karakter atau sifat subjeknya. Kendala yang tak diduga sering muncul di lapangan, untuk itu sutradara sebagai pemimpin kreatif harus mampu mengambil keputusan dengan cepat dan tepat, serta siap dengan strategi antisipasinya agar tidak mengganggu jalannya proses produksi.
Umumnya untuk mempermudah kamerawan memahami tugasnya melakukan perekaman gambar (shooting), maka dari skenario atau treatment disusun pecahan-pecahan adegan atau sekwens menjadi sejumlah susunan shot disebut breakdown script/shot. Kemudian pada saat shooting ada baiknya dibuatkan catatan visual di sebut daftar shot (shot list) untuk memudahkan pengecekannya nanti saat memasuki proses editing. Hal ini akan mempermudah kerja sutradara dan editor saat menyeleksi dan mencari gambar (stock shot) yang dibutuhkan. Pada proses pembuatan film fiksi daftar shot harus dibuat, sedangkan pada film dokumenter ini bukan suatu keharusan akan tetapi menunjukan sikap profesional dalam efisiensi kerja.            

ADEGAN WAWANCARA
Maksud dari wawancara disini bukan seperti wawancara antara nara sumber dengan seorang reporter berita televisi. Sutradara dan editor di tuntut kemampuannya untuk mengemas adegan wawancara ini dengan menarik sehingga tidak kaku seperti wawancara liputan berita. Misalnya menyusun isi dan adegan wawancara sedemikian rupa sehingga terlihat subjek sedang menceritakan pengalamannya.
Pada saat melakukan riset dan pendekatan terhadap subjek, sutradara sudah harus mempelajari subjek baik karakter, sikap berbicara serta cara menyampaikan setiap jawaban yang diajukan kepadanya. Ada subjek yang selalu menjawab dengan sangat singkat, tetapi ada pula yang terlalu berkepanjangan. Semua ini sudah harus dipelajari saat proses pendekatan. Hal penting bagi sutradara adalah bagaimana agar dapat mengarahkan subjek untuk dengan bebas berbicara, bersikap, bertindak secara wajar.

Hal yang perlu diperhatikan sebelum melakukan wawancara ialah:
q  Harus mengetahui lebih dulu apa yang menjadi objektifitasnya.
q  Apa yang akan diangkat / diungkap dalam wawancara tersebut.
q  Bagaimana mengarahkan wawancara agar apa yang ingin diungkap
            dapat terpenuhi.

Dalam hal ini bentuk atau sifat pertanyaan harus memiliki keseimbangan dengan jawabannya. Apakah anda mengajukan suatu pertanyaan khusus dengan tujuan mendapatkan jawaban khusus pula, atau anda mengajukan pertanyaan bersifat umum dan jawabannya pun akan bersifat sama. Satu hal perlu di ingat bahwa setiap pertanyaan harus terfokus dan langsung.
Pada dasarnya dalam produksi dokumenter anda akan melakukan wawancara dua kali, pertama saat riset/hunting yang merupakan proses pendekatan pada subjek, kedua ketika melakukan perekaman gambar (shooting). Pada wawancara pertama, merupakan tahap pemilihan nara sumber, kemudian di wawancara kedua nara sumber sudah dipilih dengan tepat. Harap di ingat betul bahwa wawancara merupakan jantung dari film dokumenter.

LOKASI
Untuk lokasi harus diperhatikan siapa subjek yang akan di wawancarai, berkaitan dengan usia, posisi dan profesinya. Dalam memilih lokasi wawancara (setting), ada dua hal yang perlu diperhatikan:
1.    Bila wawancara dilakukan dalam posisi duduk, memberi kemungkinan subjek yang diwawancarai merasa lebih santai. Ini bisa dilakukan di rumahnya, tempat kerja, atau sebuah tempat yang lingkungannya tenang. Seorang penjabat yang sudah pensiun biasanya memilih lokasi untuk wawancara di rumahnya. Tetapi penjabat yang masih aktif bekerja, akan memilih ruang tempat kerjanya sebagai lokasi wawancara. Dimana latar belakang saat dia diwawancarai akan memperkuat gambaran mengenai posisi jabatannya itu.
2.    Memperhatikan mengenai latar belakang aktivitas subjek cukup penting.  Apabila dokumenter mengenai suatu penelitian, maka lokasi penelitian akan menjadi latar belakangnya. Apabila ceritanya mengenai suatu musibah maka akan lebih baik lokasi kejadian dijadikan latar belakang, daripada di rumah atau memakai latar belakang lain seperti di sebuah taman yang memberikan gambaran ketenangan.

Untuk membantu menentukan lokasi wawancara, ada 3 hal yang harus di jawab:
  1. Apakah latar belakang ini, mampu menggugah perasaan (mood) dan memiliki aspek dramatik ?.
  2. Apakah  latar belakang ini menyebabkan orang yang akan anda wawancarai tidak santai, atau agak gugup, karena banyaknya orang yang lalu lalang disekitar situ. Lingkungan gaduh, dapat mengganggu suasana wawancara ?.
  3. Apakah kesan yang terekam dari latar belakang tersebut tidak terlalu menonjol, sehingga dapat mengalihkan perhatian penonton dari apa yang ingin disampaikan dalam wawancara tersebut ?.

Ke tiga hal diatas perlu diperhatikan sebagai hal yang mendasar, agar keseluruhan imago dan informasi cerita tidak terganggu. Pada umumnya melakukan wawancara di udara terbuka (exterior) akan lebih praktis, karena tidak terlalu repot dengan penataan cahaya. Tetapi ada kemungkinan mendapat gangguan suara (noise) dari lingkungan di sekitar saat melakukan perekaman suara. Perlu di ingat bahwa tidak selalu suara atmosfir lingkungan itu menggangu, kadang justru dibutuhkan untuk memberi nuansa adanya suatu kehidupan nyata di sekitar posisi subjek. Di pihak lain bila penonton mendengar suara noise atmosfir, ini merangsang rasa ingin mengetahui dari mana suara atmosfir itu bersumber, sehingga anda terpaksa perlu memperlihatkan gambar mengenai kondisi dan posisi setting secara menyeluruh, agar penonton tidak penasaran atau kecewa.
Ada pula wawancara dilakukan pada saat subjek sedang melakukan kegiatannya (in action). Tehnik ini memerlukan konsentrasi cukup tinggi, terutama perekam suara (sound man) harus selalu siaga, dipihak lain penata kamera pun harus mampu mengikuti gerak langkah subjek serta mengamati setiap sudut pengambilan yang estetis dalam menyampaikan informasi visual. Sekarang gaya seperti ini banyak dilakukan karena dianggap adegan wawancara menjadi lebih hidup, variatif dan dinamis, ketimbang hanya menampilkan  komposisi gambar  (shot) wawancara yang statis.
Melakukan shot wawancara yang panjang akan menimbulkan rasa bosan pada penonton, apabila anda terpaksa melakukannya karena suatu alasan kuat, maka perlu melakukan variasi sudut pengambilan (camera angle & type shot). Bila shot panjang wawancara tak begitu beralasan maka sisipkan (insert) sejumlah shot lain yang berkaitan dengan isi wawancara. Apabila subjek yang di wawancara memiliki gaya berbicara yang ekspresif, ini memiliki alasan untuk melakukan shot panjang, tetapi tetap dengan sudut kamera dan tipe shot yang variatif.

KOMPOSISI ADEGAN WAWANCARA
Sutradara memperhitungkan posisi kamera sesuai estetika komposisi dan posisi subjek yang diwawancarai. Situasi wawancara seperti yang sudah diterangkan diatas bahwa dapat dalam posisi diam atau posisi bergerak dan posisi duduk atau berdiri. Kameraman dokumenter umumnya sudah terbiasa dengan situasi demikian. Bila kondisi wawancara dalam keadaan bergerak maka perlu selalu mengatur titik ketajaman lensa (focus) dan mengatur komposisi frame dalam mengikuti gerak subjek. Disamping itu anda harus terus mengontrol kondisi pencahayaan yang stabil dalam posisi yang berpindah-pindah. Meski membutuhkan kerja ekstra, akan tetapi gaya ini sangat dinamis dan lebih menarik untuk dilihat penonton.

Ada 3 posisi umum ketika perekaman gambar saat wawancara :
1.  Arah pandang subjek yang diwawancarai menatap lurus/langsung ke kamera.
2.  Sudut kamera tidak berhadapan langsung, tetapi agak miring ke kiri/kanan. Sehingga menimbulkan kesan bahwa subjek sedang berdialog dengan seseorang, yang tidak terlihat didalam layar (off screen).
3.  Baik pewawancara maupun yang diwawancarai tampak dalam layar (on screen).

Pada posisi pertama, dimana subjek yang diwawancarai menatap langsung ke kamera, ini akan memberi kesan wibawa dari tokoh tersebut. Selain itu sang tokoh melakukan kontak langsung dengan penonton. Posisi ini biasanya sangat disenangi oleh tokoh pejabat, dengan tujuan memberi kesan wibawa, tapi juga kesan keintiman dengan masyarakatnya.
Pada posisi kedua, dengan tidak menatap langsung ke kamera, karena posisi sudut pengambilan agak menyamping. Ini memberi kesan wawancara tersebut dilakukan dengan santai. Unsur wibawa agak berkurang, bahkan berkesan informal, bersahabat, kadang memiliki unsur anekdot.
Posisi ketiga, subjek dan pewawancara muncul di frame on screen, biasanya dilakukan pada reportase. Dalam dokumenter kadang dilakukan pula posisi ini, menempatkan kedua pihak didalam frame, dengan tujuan menampilkan kesan konfrontasi.

Setiap posisi yang akan di pilih harus memperhitungkan atau memikirkan mengenai, sejauh mana anda ingin menarik publik untuk terlibat dalam film tersebut. Tentu saja mengenai sudut pengambilan kamera, perlu didiskusikan dengan penata kamera yang punya hak penuh dalam hal ini. Sedangkan sutradara harus lebih memperhatikan subjek yang akan diwawancarainya. Misalnya ekspresi apa yang ingin di dapat dari subjek, bagaimana kondisi pakaiannya, serta bagaimana komposisi latar belakang yang akan di pakai ketika wawancara. Komunikasi sutradara dengan penata kamera mengenai kesan apa ingin didapat dari subjek yang diwawancarai, sangat membantu dalam menempatkan posisi kamera (camera angle) dengan tepat.

ETIKA WAWANCARA
Banyak kesalahan dilakukan para reporter televisi kita ketika melakukan wawancara baik untuk berita, feature maupun dokumenter. Ada beberapa hal perlu diperhatikan sutradara dalam melakukan wawancara, khususnya berkaitan dengan etika ketikameminta informasi dari subjek. Ini penting karena bisa saja sikap anda sendiri yang menyebabkan kegagalan dalam wawancara.
q  Disaat melakukan wawancara mata anda harus menatap pada orang yang sedang anda wawancarai, sehingga dia merasa mendapat perhatian penuh. Harus di ingat bahwa pewawancara adalah pihak yang meminta penjelasan/informasi. Dengan memberikan perhatian penuh maka pihak yang di minta penjelasannya merasakan suasana persahabatan, saling menghormati dan rasa percaya kepada orang yang mewawancarainya.
q  Ada baiknya memulai wawancara dengan mengajukan pertanyaan yang sifatnya mudah atau umum. Sehingga ketika masuk pada pertanyaan khusus, suasana perasaan dan pikiran subjek sudah mantap. Bagaimana ekspresi wajah anda ketika mengajukan pertanyaan juga berpengaruh pada subjek, entah itu dapat memberi suasana santai atau bahkan sebaliknya.
q  Perhatian utama juga perlu diberikan ketika menyusun daftar pertanyaan. Meskipun kadang pertanyaan dapat berkembang saat wawancara, tetapi menyusunnya lebih dulu sebelum wawancara, akan berguna untuk memantabkan  benang merah dan mendapatkan informasi yang lebih terperinci.
q  Jangan terlalu angkuh dengan memperlihatkan kepintaran kita dalam mengajukan pertanyaan dengan bahasa ilmiah (intelektual) terhadap subjek. Karena selain menyebabkan subjek merasa rendah diri juga menyebalkan bagi penonton. Setiap sikap dan materi pertanyaan harus disesuaikan dengan siapa anda melakukan wawancara, dan gunakan bahasa verbal yang komunikatif bagi telinga umum. Perlu di ingat, bahwa anda sedang meminta informasi dari subjek bukan memberikan penyuluhan
q  Anda bukan melakukan wawancara untuk sebuah liputan berita, jadi jangan menginterupsi atau memotong saat subjek sedang memberikan jawabannya, meskipun terasa panjang atau bertele-tele. Karena subjek akan merasa anda tidak tertarik pada jawabannya itu. Akibatnya suasana wawancara akan menjadi kaku karena motivasi subjek sudah berkurang, atau mungkin saja akhirnya subjek menghentikannya. Bila memang subjek terlalu berkepanjangan dalam menjawab pertanyaan sehingga terjadi pemborosan bahan baku, maka lakukan pemotongan wawancara dengan sikap yang sangat simpatik.


Catatan akhir :
Membuat dokumenter berarti bertutur/bercerita dengan gambar berdasarkan wawasan dan kreatifitas visi visual anda, bedakan metode reportase dengan dokumenter. Membuat feature diawali dengan menuliskan narasi yang sebanyaknya, kemudian gambar direkam sesuai apa yang tertulis di narasi, ini sangat bertolak belakang dengan dokumenter, dimana gambar bercerita (bahasa visual) itu merupakan tujuan utama, narasi hanya sebagai pelengkap/pendamping informasi bila gambar tak mampu mengetengahkannya.

Membuat dokumenter berbeda dengan pemikiran membuat reportase, sehingga tak akan bisa membuat dokumenter yang baik apabila metode kerjanya sama seperti membuat liputan berita ‘on the spot’, datang ke lokasi langsung rekam peristiwanya (shooting). Riset/Hunting adalah jantung dari dokumenter, tanpa riset anda hanya bermimpi bila dapat membuat dokumenter yang bermakna dan menarik.

Prosedur Dokumenter



  1. Metode Pembuatan :
1. Riset & Observasi
Melalui riset dan Observasi di lapangan menyertakanNarasumber serta Pelaku sejarah/masyarakat/pemegang kebijakan/pegawai di kalangan PEMDA. Dengan Riset serta Observasi maka akan menghasilkan satu informasi yang komplit dan komprehensip. Riset di lapangan mengacu pada program pemerintah kayong utara yang sedang berjalan. Atas dasar itulah penulusuran mengenai keberadaan Program Pemerintah saat ini di lakukan pada berbagai sektor, terutama sektor program unggulan PEMDA, untuk  menggali informasi yang nanti nya akan di komparasi dengan data – data lain nya.
2.  Pengumpulan Materi / Data
Proses Pengumpulan Materi meliputi
    1. Pengambilan gambar ke berbagai lokasi secara langsung
    2. Pengumpulan data seperti: berkas data audio & Visual baik berupa Data Digital mapun data mentah.
    3. Interview dengan objek yang berkaitan dalam tema film
    4. Pengmpulan bukti otentik berupa apa saja yang berkaitan dengan konsep film
  1. Proses Pengolahan data meliputi
    1. Perbandingan antara semua materi yang telah di kumpulkan
    2. Materi yang berkaitan dengan Unsur; Syara, pornografi, Extrimisme, kepentingan pribadi/ golongan, fitnah, bertentangan dengan norma agama, adat istiadat, dan bertentangan dengan hukum tidak akan kami masukkan dalam materi film yang sesungguhnya.
  2. Setelah semua materi kami nyatakan valid, maka kami baru melakukan proses Editing untuk mengkomparasi semua materi sesuai dengan konsep film yang telah kami susun .
  3. Peninjauan kembali.
Sesuatu yang paling penting dan tidak boleh di lewatkan Setelah semua proses di nyatakan selesai adalah peninjauan kembali terhadap isi keseluruhan film, terutama dari konten film yang mengandung unsur unsur pada point ( 3 b ) di atas, akan kami cut. Hal ini kami lakukan agar kelak tidak akan terjadi masalah ketika film sudah terpublish.
  1. Tujuan Pembuatan Film Dokumenter
Tujuan Pembuatan Film ini kami maksudkan Sebagai berikut :
  1. Sebagai media bagai masyarakat dan pemerintah
  2. Menyajikan informasi yang akurat dan berimbang
  3. Mengungkap fakta yang sesungguhnya di sertainarasumber yang berimbang
  1. Uraian singkat Ide Cerita film Dokumenter
Sebuah gambaran kisah sekaligus sejarah berdirinya kabupaten kayong utara, di lanjutkan dengan masa transisi kemudian kepemerintahan di masa penjabat sementara ( Syarif Umar al – kadrie ). Pada Tahun 2007 akhirnya Kabupaten kayong utara melakukan PILKADA untuk yang pertama kali nya. Dengan perolehan …………suara pasangan Hildi Hamid Dan Ir. M. Said Tihi, akhirnya terpilih menduduki kursi Bupati dan Wakil bupati kabupaten kayong utara untuk yang pertama kali.
Program pendidikan dan Kesehatan gratis yang di usung oleh pasangan terpilih (Hildi Hamid Dan Ir. M. Said Tihi ), ternyata bukan hanya sekedar janji belaka. Terbukti setelah pelantikan dan peresmian, Program gratis untuk pendidikan dan kesehatan langsung di tata dan diluncurkan pada masyarakat. Pada awalnya program gratis ini serasa hampir tidak mungkin dapat di wujudkan, karena mengingat Kabupaten yang masih baru tentunya juga masih belum memiliki pendapatan tetap. Lain halnya jika sistem kepemerintahan memang sudah tertata dan devisa daerah telah mengalir sebagaimana layaknya kabupaten yang sudah lama berdiri. Namun sungguh di luar dugaan meskipun Kabupaten kayong utara adalah kabupaten termiskin sebagaimana di lansir media massa nasional, tapi nyatanya mampu menggratiskan pendidikan dan kesehatan kepada masyarakatnya. Hal tersebut tentunya juga tidak terlepas dari strategi dan siasat dalam mengatur perputaran uang daerah yang sejak awal memang masih minim.
Sebuah kebijakan yang membawa dampak positif bagi masyarakat tentunya juga melalui proses perjuangan serta pengorbanan yang panjang. Adalah hak bagi seorang pemimpin untuk menentukan ke arah mana layar akan terkembang, akan kah mengarungi badai ataukah menyelami lauta, yang pastinya semua memerlukan sebuah pengorbanan dan perjuangan. Begitu juga dengan Program pendidikan dan kesehatan gratis yang di hembuskan juga memerlukan perjuangan dan pengorbanan semua komponen yang terlibat di dalam nya. Coba sekarang kita lihat saja ; berapa banyak sekolah yang tertanggung biaya nya oleh pemerintah daerah, dan berapa banyak guru yang mengorbankan tenaga, fikiran, serta waktu untuk memberikan jam tambahan bagi para siswa/ i nya yang kekurangan fasilitas, bahkan para guru terkadang juga merasa iri dengan beberapa daerah lain yang sudah lebih maju, sehingga fasilitas serta kesejahteraan nya lebih terjamin, namun sungguhpun begitu, jauh di lubuk hati mereka menyadari bahwa; ini semua adalah sebuah proses percepatan dengan mengejar ketertinggalan yang selama ini banyak menghantui masyarakat.
Di tengah tengah banyak menurunya tingkat kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah karena berbagai permasalahan, ternyata Program Pendidikan Dan Kesehatan Gratis yang di hembuskan oleh pasangan H. Hildi Hamid dan M. Said Tihi, dapat membawa angin segar yang berdampak positif bagi masyarakat kabupaten kayong utara. Seiring dengan berhembusnya program Pendidikan dan kesehatan gratis tersebut pelan pelan masyarakat sadar, bahwa betapa penting arti sebuah Pendidikan dan kesehatan bagi mereka.
Jika di tinjau dari kekayaan alam nya Kabupaten kayong utara memiliki banyak potensi yang luar biasa, terutama potensi hasil laut dan pertanian serta perkebunan dan peternakan. Merambat pelan namun pasti seiring dengan berjalan nya waktu, satu persatu potensi yang ada mulai tumbuh dan berkembang. Dalam hal ini tentunya peran pemerintah sangat penting untuk menunjang berbagai potensi yang sedang tumbuh dan berkembang, mengingat pemerintah adalah fasilitator atau perpanjangan tangan bagi masyarakat.
Potensi pariwisata di kabupaten kayong utara juga begitu menjanjikan berbagai keindahan alam yang tergolong masih alami. Bahkan sebelum pemekaran, tempat rekreasi serta pariwisata sudah di kenal hingga ke luar daerah bahkan hingga manca negara. Berbagai upaya pengelolaan dan promosi telah di lakukan oleh pihak pemerintah maupun swasta, dan hingga saat ini proses tersebut masih terus berlangsung hingga batas watu yang tidak dapat di tentukan.
  1. Fokus Materi Dalam Film
Agar pemaparan dalam tutur audio visual ini lebih terfokus, maka dalam Film ini akan kami bagi menjadi beberapa bagian yakni di antaranya adalah sebagai berikut :
  1. Bagian Pertama dalam Film Documenter ini, kami akan mengangkat informasi sejarah terbentuknya  Kabupaten Kayong Utara, serta pembangunan pemerintah daerah dalam bidang non fisik, yaitu program Pendidikan dan kesehatan gratis yang sedang berjalan. dalam hal ini sudah barang tentu suatu program yang di ciptakan apalagi yang berkenaan dengan biaya yang meringankan masyarakat, sudah barang tentu membantu masyarakat itu sendiri. Namun terlepas dari keberhasilan dan suksesnya program pendidikan dan kesehatan gratis tersebut, ternyata  masih memiliki kelemahan, baik dari sudut pandang birokrasi maupun sudut pandang yang lain. Dan tentunya dalam proses berjalanan nya program pendidikan dan kesehatan gratis ini ada sebuah tantangan, rintangan maupun kontroversi dari berbagai pihak. Maka dari berbagai sumber materi serta sudut pandang, akan menghasilkan sebuah informasi yang super komplit mengenai keberadaan Program yang sedang berjalan, dan berdasarkan informasi tersebut di harapkan akan benar benar terserap oleh seluruh lapisan masyarakat dan berbagai pihak, dan satu hal yang lebih penting adalah, kelemahan serta kekurangan yang di temukan akan dapat di perbaiki untuk tahap berikutnya.
  2. Bagian Kedua dalam film Dokumenter ini kami mengangkat informasi mengenai pembangunan pemerintah kabupaten kayong utara dalam pembangunan di bidang fisik. gambaran secara fisik antara masa lampau dan masa kini begitu jauh berbeda, hal ini juga akan di perkuat dengan bukti bukti otentik  berupa Dokumentasi, saksi sejarah dan lain lain. Pada bagian ini untuk lebih fokus, kami mengangkat pembangunan fisik pada masa kepemerintahan baru telah di mulai, hingga masa kini serta rancangan ke depan pemerintah kabupaten kayong utara.
  3. Pada bagian ke tiga kemungkinan kami akan mengemas sebuah tanyangan film dalam bentuk genre Semi Dokumenter/ Fiksi. Hal ini kami lakukan dengan alasan bahwa untuk pasar Film Dokumenter murni yang bersifat faktual dengan tutur seni visual semenarik apapun masih memiliki peminat yang minim. Dalam rencana rancangan film fiksi yang akan kami buat tersebut, semua unsur kompleks yang berada di kabupaten kayong utara akan kami komparasi dengan mengangkat sebuah ide cerita yang menggambarkan kisah sepasang orang tua dengan katagori miskin, dan hal ini juga banyak di alami oleh para orang tua yang lain. Dengan berbagai problem dan sentuhan nilai humanisme, Moralitas, serta di bumbui dengan berbagai kekayaan kultur sosial budaya dan semua unsur yang berada di Kayong utara, Film Fiksi ini insya allah akan membangkitkan semangat untuk Membangun daerah serta Nasionalisme dan patriotisme terhadap negara.
  1. Bentuk Penyajian :
Adapun bentuk penyajian dalam film Dokumenter ini di simpan dalam media data (Compact Disc atau Tape), konten di dalam nya akan di kemas secara informatif, edukatif, dan berimbang dengan akurasi data yang dapat di pertanggung jawabkan.
  1. Konsep Dasar  di lapangan meliputi hal – hal sebagai berikut:
  1. Menelusuri sejarah terbentuknya kabupaten kayong utara
  2. Mencari fakta dan data mengenai keberadaan Kabupaten kayong utara.
  3. Menelusuri perjalanan Kabupaten kayong utara pada masa lalu, melalui nara sumber serta pelaku sejarah, di sertai dengan komparasi data untuk menguatkan plot.
  4. Pengambilan gambar secara langsung untuk menambah materi atau menggambarkan suasana terkini dari kabupaten kayong utara dari berbagai angel.   .
  5. Liputan terhadap tempat – tempat bersejarah dan peninggalan kerajaan, di sertai dengan komparasi data lain nya.

Ide dan Konsep


Oleh: Gerzon Ron Ayawaila ( Dosen dari Institut Kesenian Jakarta dan seorang sutradara film dokumenter )


Seperti sudah dinyatakan bahwa dokumenter merupakan karya film berdasarkan realita dan fakta dari suatu pengalaman hidup seseorang atau sebuah peristiwa sejarah. Maka untuk mendapatkan ide bagi film realita, kepekaan terhadap lingkungan sosial, budaya, politik dan alam semesta, disertai rasa ingin tahu yang besar dengan membaca, berkomunikasi antar manusia dalam pergaulan, merupakan sumber inspirasi yang tak akan habis. Ide cerita untuk film dokumenter di dapat dari apa yang anda lihat dan dengar, bukan berdasarkan suatu hayalan yang sifatnya imajinatif. Untuk mendapatkan ide bagi sebuah produksi film dokumenter adalah tidak semudah mencari ide untuk cerita fiksi. Ide tema bagi dokumenter hanya dapat diperoleh dari apa yangdilihat dan didengar. Seorang dokumentaris harus banyak membaca, banyak mengamati lingkungannya, sering berkomunikasi dengan semua lapisan masyarakat, berdiskusi dengan kelompok-kelompok masyarakat yang memiliki aktivitas sosial dan budaya.
Dari hasil observasi dan analisa terhadap apa yang kita baca, lihat dan dengar, maka barulah dapat di olah menjadi sebuah ide untuk membuat dokumenter. Jangan terlalu cepat puas dengan ide yang baru di dapat, karena kadang sebuah tema hanya di awal nya saja menarik, tetapi setelah di evaluasi lebih lanjut malah hampa dan membosankan. Demikian pula dengan subjek yang akan kita seleksi, harus dilakukan secara teliti dengan melakukan seleksi dan pendekatan yang baik.
Dalam mencari dan menemukan ide dapat didasari oleh dua motivasi, yaitu motivasi pribadi dan motivasi sponsor atau produser. Motivasi pribadi itu berdasarkan ide pribadi yang muncul karena kita tertarik pada subjek untuk dijadikan tema film dokumenter. Motivasi kedua adalah kita hanya menjadi tim kreatif untuk memproduksi pesanan dari stasiun televisi, rumah produksi, lembaga pemerintah, swasta dan asing. Motivasi pertama meskipun lebih berat tetapi lebih memuaskan diri anda, tetapi anda harus mampu meyakinkan orang lain mengenai ide tersebut dengan harapan ada sponsor yang tertarik. Apabila motivasi anda kurang kuat maka ini akan berpengaruh pada presentasi pada sponsor, dan tentu akibatnya akan mengalami kebuntuan sumber dana, selanjutnya dapat mengganggu motivasi untuk terus bekerja hingga karya tersebut selesai. Disini perlunya dokumentaris memiliki tim kompak, karena didasari kebersamaan motivasi yang kuat maka diantara tim harus saling mendukung. Motivasi kedua tak perlu dibicarakan panjang lebar karena sebagai tim kreatif kita tinggal mengerjakan pesanan, meskipun tak jarang ada pula kendala saat presentasi karya akhir serta pelunasan biaya produksinya, terutama bila berhadapan sponsor yang awam atau nakal.
Tema & Subjek
Hal awal yang perlu anda tetapkan adalah konsep bagi tema dan subjek yang telah dipilih. Ada tiga hal yang mendasar yang perlu anda mantapkan yaitu;
·         Apa yang akan anda buat atau produksi ?.
·         Bagaimana anda akan membuatnya ? (kemasan, gaya, pendekatan, bentuk) ?.
·         Untuk apa dan siapa film ini anda produksi ? (target/sasaran komunitas) Ketiga hal ini harus di jawab dengan mantap, sebelum melangkah ke proses berikutnya. Meskipun sederhana tetapi kadang ketiga hal dasar diatas ini membutuhkan waktu perenungan panjang dan analisa mendalam. Para pemula umumnya tidak memikirkan serta menentukan dengan mantap ketiga dasar konsep diatas yang seharusnya menjadi titik tolak untuk merealisasikan ide mereka memproduksi film dokumenter.
Tema aktual atau tidak ?
Tema dokumenter tidak sepenuhnya mengacu pada peristiwa aktual, kadang justru dari peristiwa yang tidak aktual dapat menjadi aktual setelah direpresentasikan melalui film dokumenter. Meskipun tidak dipungkiri laporan faktual dapat dijadikan ide dan tema. Dari sebuah peristiwa dokumentaris menyelam ke akar permasalahannya yang merupakan suatu sebab akibat. Sehingga isi representasi tidak hanya sekedar lintasan informasi global dan tidak terjebak pada kulit permasalahannya saja. Bila sensasi menjadi sumber ide pemburu berita, justru bagi dokumenter murni menonjolkan sensasi dapat mengurangi bobot fakta. Kecuali pada dokumenter propaganda, dimana sensasi menjadi menu utama untuk memanipulasi fakta.
Dapat saja terjadi bahwa tema dan subjek yang akan anda garap akan di produksi pula oleh pihak lain atau mungkin pernah disiarkan stasiun televisi. Maka logis hal ini akan menimbulkan keraguan untuk terus dengan rencana semula serta tema yang sudah diputuskan itu atau membatalkannya?. Untuk menganalisa dan menetapkan tema dan subjek yang akan digarap, ada baiknya tidak selalu melihat tema dan subjek yang di pilih itu dari sudut pandangan publik. Tetapi justru konfrontasikan pengaruh pribadi anda terhadap subjek dan tema yang merupakan ide anda itu. Dengan demikian anda akan lebih berani menciptakan ide kreatif dengan arah dan pendekatan gaya yang lebih segar. Untuk menetapkan apakah anda akan jalan terus atau membatalkannya, dibawah ini ada beberapa pertanyaan yang perlu di jawab, sebelum melangkah pada keputusan akhir.
1.     Apakah anda sudah memahami serta menguasai tema dan subjek tersebut secara mantap ?. Tetapi bukan pemahaman yang kaku atau dogmatis.
2.     Apakah anda memiliki ikatan emosi kuat dengan subjek tersebut ?, meskipun sebenarnya ada subjek lain, yang secara praktis lebih mudah digarap.
3.     Apakah antara ide, tema, dan subjek memiliki kecocokan ?.
4.     Apakah ada usaha dan motivasi kuat untuk lebih lanjut mendalami subjek yang telah kita amati itu ?.
5.     Apakah subjek memiliki arti penting yang mendasari pokok pemikiran ide anda ?.
6.     Hal-hal apakah yang luar biasa menariknya dari tema dan subjek tersebut?.
7.     Dimana hal-hal khusus, unik serta berkesan dari subjek tersebut ?.
8.     Bagaimana pendalaman serta pembatasan yang dapat difokuskan, agar film menjadi menarik dan berkesan ?.
9.     Apa yang akan dan dapat di presentasikan dari dokumenter ini, melalui gaya pendekatan yang segar dan baru ?. Untuk memantapkan semua pertanyaan di atas ini, perlu dilakukan riset yang mendalam terhadap subjek yang akan di garap pengalaman hidupnya. Adalah sangat berguna apabila anda melakukan kunjungan beberapa kali ke lokasi subjek, ini merupakan suatu proses pendekatan terhadap subjek serta lingkungannya. Melakukan kunjungan beberapakali kepada subjek dan lingkungannya sangat membantu dalam memberikan rasa percaya bagi subjek, berkaitan dengan kisah pengalaman hidupnya yang akan di rekam. Disamping itu anda dapat memperhitungkan walaupun masih secara kasar, mengenai jumlah anggaran biaya yang diperlukan bagi produksi nanti. Sekaligus memperkirakan lamanya jadwal dan sistim kerja yang harus diterapkan nanti, ketika melakukan shooting.
Riset
Pengertian riset adalah mengumpulkan data/informasi dengan melakukan observasi mendalam terhadap subjek dan lingkungannya, sesuai tema yang akan di ketengahkan di dalam film. Pelaksanaan riset ada yang di lakukan oleh tim riset khusus dan adapula yang dilakukan sendiri oleh penulis naskah merangkap sutradara. Selain penulis dan sutradara harus terjun langsung ke lapangan, juga perlu melakukan kerja sama dalam mengumpulkan informasi dengan pakar disiplin ilmu lain. Apabila anda sudah menentukan gaya dan bentuk penuturan apa yang dianggap sesuai dengan isi dan tema film yang akan digarap, maka ini mempermudah pelaksanaan selanjutnya di dalam riset. Ketika mulai melakukan riset ada baiknya prioritaskan lebih dulu pada hal-hal yang praktis. Perlu di ingat bahwa film hanya dapat dibuat berdasarkan dari apa yang dapat di rekam oleh kamera. Oleh karena itu saat anda melaksanakan riset, harus selalu memperhatikan dan memikirkan aspek-aspek yang ada untuk kepentingan gambar visual.Seorang dokumentaris atau sineas dituntut memiliki visi visual (kepekaan visualisasi), ini bisa berasal dari bakat alam (talenta) yang dibentuk melalui pendidikan sinematografi.
Jalinan kerja sama antara Tim Riset, Penulis dan Sutradara, harus serasi serta saling mengisi, karena komunikasi di antara mereka akan terus berlangsung hingga menuju tahap penyelesaian penulisan naskah (script). Diantara mereka juga harus saling membatasi diri pada profesi masingmasing, tanpa harus mencampuri hal-hal yang bukan tugas atau urusannya.
Dengan melakukan riset pendahuluan (preliminary research) dapat membantu mendapat gambaran untuk mengembangkan ide yang ada menjadi lebih mantap. Hal ini di lakukan melalui analisa visi visual di barengi dengan orientasi kritis. Ide untuk film dokumenter di dapat dari apa yang di dengar dan di lihat, bukan berdasarkan imajinasi. Akan tetapi untuk mendapatkan ide bagus tidak cukup hanya dari mendengar dan melihat saja, karena tidak semua peristiwa penting dapat dijadikan tema film dokumenter. Ide bagus masih membutuhkan orientasi lebih jauh lagi terhadap semua informasi yang telah didapat. Kemudian berdasarkan visi kreatif dikembangkan hingga mencapai kematangan konsep yang menarik. Banyak ide pada awalnya tampak menarik tetapi setelah dilakukan orientasi lebih jauh dan mendalam lagi, terasa bahwa hanya pada awalnya saja menarik tetapi selanjutnya terasa hambar dan membosankan. Demikian pula dengan subjek yang akan kita seleksi, harus dilakukan secara teliti dengan melakukan pengamatan dan pendekatan yang baik. Kemampuan kreatifitas tinggi di imbangi dengan kepekaan analisa visual, merupakan salah satu titik tolak membuat karya dokumenter yang memukau.
Untuk menjawab permasalahan ini maka sangat perlu dilakukan riset, meskipun tak dapat dipungkiri bahwa motivasi untuk melakukan riset di Indonesia sangat minimal. Padahal untuk menciptakan suatu karya seni maupun ilmu pengetahuan yang memiliki bobot visi dan misi, melakukan riset adalah mutlak.
Melakukan riset berarti melakukan pengumpulan data/informasi yang diperlukan untuk penulisan naskah. Riset untuk dokumenter dilakukan terhadap sumber data dan informasi, yang umumnya dalam beberapa macam atau bentuk data:
1.     data tulisan (buku, majalah, surat kabar, surat, selebaran, dsb.)
2.     data visual (foto,film,video, lukisan, poster, patung, ukiran, dsb.)
3.     data suara (bunyi-bunyian, musik, lagu, dsb.).
4.     data mengenai subjek, nara sumber, informan.
5.     data lokasi (tempat kejadian/peristiwa). Berangkat dari hasil riset di bentuk suatu kerangka global mengenai arah dan tujuan penuturan, serta subjek-subjek yang akan menjadi tokoh (karakter) di dalam tema film. Kemudian penulis naskah dan sutradara mengevaluasi transkrip hasil riset, untuk mengetahui serta menetapkan dengan pasti:
·         Mana informasi yang penting dan yang kurang penting.
·         Bagian informasi mana yang perlu diperdalam dan diperluas lagi.
·         Pada bagian mana sebab dan akibat dari peristiwa, dapat digunakan sebagai penunjang aspek dramatik. Ini penting agar anda dapat menyusun struktur penuturannya.
·         Mana bagian utama dan mana bagian pelengkap untuk memberikan makna pada film. Ini penting demi efisiensi kerja ketika melakukan shooting nanti, agar anda tak perlu mengalami kekurangan atau kelebihan stock shot.
Baik penulis maupun sutradara harus mengetahui materi apa saja yang diperlukan guna melengkapi visual, yang tak ditemui atau yang tak dapat di shot di lokasi peristiwa. Misalnya pengumpulan materi film/video (footage) dari lembaga arsip, museum, dan sinematek. Kadang kita juga perlu membeli dari stasiun televisi atau perusahaan film swasta atau pemerintah. Bila kita membuat film kompilasi maka seluruh materi berdasarkan dari arsip/dokumentasi (footage) film/video, yang harus dikumpulkan dan di seleksi dalam waktu cukup lama. Dokumentaris Belanda, Vincent Monikendam yang membuat film dokumenter kompilasi berjudul “Mother Dao”, mengatakan bahwa untuk filmnya ini dibutuhkan waktu dua tahun lebih untuk mengumpulkan dan menyeleksi materi footage yang terdiri dari potongan-potongan film hitam putih lama. Film dokumenter Monikendam merupakan kompilasi dari arsip film hitam-putih yang di rekam di Indonesia sejak tahun 30an hingga 50an.
Sangat membantu bila menggunakan alat perekam audio (tape recorder), ketika melakukan riset, untuk mewawancarai orang-orang yang akan dijadikan subjek atau nara sumber. Karena dari hasil rekaman suara sutradara dapat mengetahui apakah subjek memiliki volume vokal yang keras atau lembut, artikulasinya jelas atau tidak, kemudian ritme dan gaya berbicaranya membosankan atau tidak, bagaimana mimiknya (ekspresi) bila berbicara dan seterusnya. Kegunaan lainnya ialah apabila subjek anda belum pernah diwawancarai, maka dengan tape recorder dapat melatih atau membiasakan dirinya, terutama bila nanti dihadapan sorotan kamera.
Tokoh dan Nara Sumber
Didalam merancang atau menyusun penulisan naskah, peranan antara tokoh dan nara sumber perlu dijelaskan. Tokoh atau subjek utama didalam film dokumenter memiliki peranan fungsional untuk mengetengahkan realita dari suatu peristiwa, dengan tujuan memberikan sentuhan dramatik pada cerita anda. Sedangkan nara sumber dapat berperan sebagai sumber informasi saja atau dapat pula sebagai subjek pembantu. Akan tetapi jangan terlalu diabaikan karena subjek pembantu juga dapat mengentalkan unsur dramatik.
Sejumlah pertanyaan di bawah ini perlu dikaji sebagai cara melakukan seleksi, untuk menemukan subjek yang betul-betul tepat sesuai dengan tema.
·         Dengan mengacu pada hasil riset, penulis dan sutradara dapat menganalisa, apakah subjek yang di pilih sudah tepat sebagai pemeran atau sebagai nara sumber ?.
·         Apakah peranan tokoh ini sebagai informan cukup penting, serta mampu mengekspresikan tema tersebut dan memberikan unsur dramatik?.
·         Apabila peran subjek hanya sebagai nara sumber, maka menampilkannya cukup liwat komentar atau narasi saja (off screen) dilengkapi dengan ilustrasi gambar.
·         Apabila mengenai suatu aksi, penulis harus menganalisa apakah aksi dari subjek tersebut yang perlu ditampilkan dalam cerita atau tidak ?.
Mengetengahkan gaya bertutur potret/biografi dengan subjek yang sudah tidak ada (wafat) perlu pendekatan khusus untuk menentukan aspek kreatif dalam penyuguhannya. Maka untuk mengisi sugesti dari ketidak hadiran sang tokoh, ditampilkan hal-hal yang berhubungan erat dengan kehidupan si tokoh. Misalnya menampilkan nara sumber yang sangat dekat dan intim dengan subjek, seperti teman, saudara, kerabat keluarga, sekaligus sebagai saksi hidup yang mengetahui perjalanan hidup dan peranan si tokoh didalam peristiwa itu. Atau dapat pula menampilkan benda-benda atau materi yang merupakan identitas dan simbol dari figur si tokoh. Pendekatan ini dapat memberikan perincian kongkrit, sebagai sketsa dari ketidak hadiran sang tokoh tersebut.
Teori film mengatakan bahwa setiap penonton akan mengidentifikasikan dirinya pada salah satu tokoh dalam cerita film. Hal ini dilakukan karena simpati atau semacam pengenalan diri (identitas) dari si penonton itu sendiri, dimana sikap ini dilakukan tanpa sadar. Beranjak dari teori ini, tak ada salahnya menggunakan metode tersebut untuk memilih tokoh-tokoh serta membangun karakter yang akan dimunculkan pada film.
Pendekatan subjek
Pendekatan terhadap subjek merupakan proses penting, dari mulai riset hingga shooting nanti. Pendekatan seorang dokumentaris berbeda dengan pendekatan riset para ilmuwan sosial seperti antropolog atau sosiolog terhadap respondennya. Metode riset dan pendekatan untuk film dokumenter bukan melalui pengumpulan kuesioner atau angket yang biasa dilakukan dalam suatu penelitian sosial. Akan tetapi dokumentaris harus terjun langsung dan mengadakan komunikasi (dialog) antar manusia yang sederajat dengan subjeknya. Dengan demikian bila perlu dokumentaris tinggal bersama subjeknya untuk memahami bagaimana kehidupan dan karakter subjek dalam keseharianya. Baik buruknya pendekatan yang anda lakukan terhadap subjek, itu akan terlihat pada saat melaksanakan shooting dan wawancara.
Dokumentaris harus memahami betul bagaimana subjek menilai dirinya sendiri serta menilai dunia diluar pribadi dan lingkungannya (view from within and view from without). Kita tak bisa memahami subjek secara generalisasi atau komparatif seperti yang diterapkan dalam metode riset ilmu sosial. Dokumentaris harus observasi langsung terhadap objek atau subjeknya, dari situ baru di dapat suatu visi untuk kepentingan visual.
Pendekatan juga merupakan suatu langkah awal produksi, untuk menciptakan suatu komunikasi antar manusia. Komunikasi antara tim produksi secara intern, serta kominunikasi dengan subjek serta lingkungan terkait seperti birokrasi setempat. Pendekatan yang baik akan memberi rasa intim pada subjek, sehingga dapat memberikan kepercayaan penuh kepada orang yang nanti akan merekam, wajah, suara, serta kisah hidupnya. Sebab itu anda perlu melakukan kunjungan beberapa kali terhadap subjek, atau tinggal bersama subjek selama melakukan riset hingga shooting. Tindakan ini dapat menghilangkan kesan asing dari diri subjek terhadap anda, selain itu dapat lebih mendalami normalisasi kehidupan subjek, yang mungkin sebelumnya luput dari pengamatan. Selain itu keintiman hubungan dokumentaris dengan subjek akan lebih terjalin lagi. Dan jangan lupa, dalam melakukan kunjungan beberapa kali, perlu selalu mempersiapkan pertanyaan-pertanyaan baru, untuk melengkapi data riset.
Kunjungan yang berkesinambungan dengan pendekatan khusus lebih diperlukan pada dokumenter sejarah, demikian pula pada bentuk portret biografi. Pendekatan pribadi yang intim hasil kunjungan beberapakali, akan membuat subjek merasa lebih percaya dan lebih bebas menceritakan tentang dirinya. Hal ini sangat bermanfaat bagi pengumpulan informasi yang di butuhkan, terutama data/informasi yang di anggap peka (sensitif) bagi subjek dan lingkungannya.
Apabila subjek anda adalah masyarakat awam maka saat melakukan kunjungan awal cukup hanya membawa buku catatan kecil saja, jangan perlihatkan kesan terlalu formil kepada subjek, yang mana dapat menimbulkan rasa gugup bagi subjek. Mengenai apa yang sudah kita ketahui mengenai diri subjek serta informan atau nara sumber mana saja yang sudah dihubungi untuk mengorek informasi mengenai subjek, perlu kita jelaskan. Jangan menutupi atau bersikap yang dapat menimbulkan kecurigaan subjek terhadap anda. Berilah kesempatan pula bagi subjek untuk menanyakan hal-hal mengenai diri anda dan tim kreatif lainnya, agar rasa percaya serta hubungan antar pribadi menjadi lebih erat. Kadang dapat terjadi di saat melakukan wawancara ada informasi yang terlewatkan, hal ini disebabkan adanya rasa tegang dalam diri subjek, sehingga mengganggu dan menghambat daya ingatnya. Hal ini perlu diperhatikan, karena tidak mudah untuk berbicara secara lancar dihadapan sorotan kamera.
Partisipasi dan Observasi
Metode penelitian yang dilakukan pada ilmu Antropologi Budaya dengan cara melakukan observasi partisipasi. Metode dan teori ini dikembangkan oleh Antropolog B.Malinowski ketika melakukan penelitian pada masyarakat etnik Trobiand di daerah Papua Nugini. Dimana dilakukan suatu interaksi mendalam antara si peneliti dengan pihak-pihak yang diteliti (responden). Malinowski berpendapat bahwa, suatu hasil penelitian yang baik dan akurat akan berhasil, tergantung dari berapa lama si peneliti tinggal dan bergaul di dalam masyarakat yang ditelitinya itu. Makin lama si peneliti bergaul dan tinggal bersama para respondennya itu, maka hasil penelitiannya pun makin memiliki bobot akurasi yang memuaskan.
Metode riset partisipasi observasi dapat di terapkan dalam kepentingan riset bagi film dokumenter, selain melakukan observasi terhadap subjek, akan lebih baik lagi bila anda ikut berpartisipasi di dalam kegiatan sehari-hari subjek serta lingkungannya. Sehingga rasa kekeluargaan antara tim produksi dengan subjek serta lingkungan masyarakatnya makin terjalin. Selama melakukan partisipasi anda terus melakukan dialog baik formal maupun informal, untuk terus menggali informasi dari subjek yang dapat menambah masukan bagi penulisan nanti. Disamping akan terus memperluas wawasan visi visual dan evaluasi anda terhadap tema, serta subjek. Perpaduan dari pandangan yang berbeda antara dokumentaris dengan subjeknya, akan menjadi bahan olahan yang selalu baru dan terus berkembang.
Selanjutnya baik audio maupun visual yang terekam nanti, merupakan hasil pengamatan dan penilaian anda terhadap pengalaman subjek, dikombinasikan dengan penilaian subjek terhadap pengalamannya sendiri. Dengan demikian akan terekam nanti suatu perimbangan antara subjektifitas dan objektifitas pada suatu peristiwa pengalaman seseorang secara akurat.
Ini merupakan usaha untuk merekam realita peristiwa atau pengalaman hidup seseorang, agar menghasilkan suatu karya dokumenter yang minimal memiliki keseimbangan objektif. Meskipun harus disadari bahwa mencapai tingkat pandangan objektif adalah sebuah obsesi, karena semua teori film sudah di mulai dengan visi subjektif sinematografis. Akan tetapi keutuhan mengetengahkan sebuah fakta peristiwa tetap merupakan tuntutan moral.
Suatu hal penting untuk di ingat bahwa ketika anda melakukan shooting, jarak antara anda sebagai dokumentaris dengan subjek anda harus ditetapkan batasannya dengan jelas. Anda tak boleh hanyut pada emosi yang diekspresikan subjek anda, hal ini dapat mengakibatkan visi objektifitas anda akan terganggu bahkan terpengaruhi oleh subjektifitas opini subjek anda itu. Secara profesional harus disadari bahwa anda sedang membuat film dokumenter, bukan sedang menjadi pendengar yang baik mengenai keluh kesah seseorang.
Penulisan Konsep
Sebagai langkah awal untuk menawarkan ide, anda perlu menyusun sebuah tulisan naskah rancangan (draft) untuk diajukan kepada pihak-pihak yang berminat. Menulis draft naskah bukan berarti seperti menulis catatan kecil saja, tetapi kita harus menuliskan semua informasi dari transkrip data riset. Umumnya draft naskah di tulis dalam susunan pembagian sekwens (sequence), agar nanti pada saat merampungkannya pada tahap produksi, dapat dijabarkan secara terperinci dalam susunan shot dan adegan yang lebih jelas. Tulisan draft pun harus lengkap dan jelas menerankan ruang dan waktu pada setiap sekwens, karena ini merupakan bagian dari isi proposal yang akan diajukan pada sponsor. Setelah anda menetapkan bentuk penuturan apa yang menjadi gaya dan struktur film anda, maka perlu disampaikan dalam naskah, ini merupakan salah satu daya tarik yang dapat anda ajukan kepada sponsor.
Pada prinsipnya penyusunan konsep naskah film dibagi dalam lima tahapan: Ide, ini merupakan jantung dari sebuah karya seni, konsep struktur dan batasan dari isi keseluruhan cerita.Treatment/outline, merupakan sketsa dasar yang dapat memberikan gambaran pendekatan dan keseluruhan isi cerita. Di pihak lain treatment merupakan materi presentasi untuk menawarkan ide anda kepada produser/sponsor. Treatment mutlak diperlukan bagi documenter, meskipun bentuk treatment tak ada yang baku. Naskah Syuting (shooting script), meskipun kadang ini tak dilakukan dalam produksi dokumenter yang menggunakan metode Cinema Verite dan Direct Cinema, tetapi sangat penting untuk mendapat gambaran kongkrit dan jelas sebagai cetak biru atau master plan. Deskripsi mengenai audio dan visual akan menjadi acuan sutradara untuk menentukan visualisasi shot, susunan adegan hingga sekwens. Naskah ini juga memberikan kejelasan bagi setiap pihak yang ikut dalam Tim Produksi, agar dapat memahami apa yang harus dikerjakan sesuai dengan propesi dan posisi masing-masing. Naskah Editing (editing script),naskah ini merupakan penentuan visualisasi struktur cerita. Meskipun bentuk penulisannya tak begitu berbeda dengan shooting script, tetapi isinya dapat saja berlainan mengenai konstruksi shot, adegan (scene), sekwens (sequence). Tidak aneh bila editing script dapat mengalami beberapa kali perubahan, karena proses editing (penyuntingan) juga melalui beberapa tahapan hingga mencapai hasil akhir (final). Naskah Narasi (narration script), ini lebih merupakan susunan penulisan narasi yang nantinya akan di bacakan oleh seorang narator sebagai voice over ketika mixing. Umumnya dokumenter sejarah atau biografi menggunakan narasi, juga gaya dokumenter konfensional seperti dalam format penayangan di televisi.
Semua prinsip struktur dalam metode penulisan naskah (script) tak perlu dijadikan suatu peraturan baku, tetapi gunakanlah sebagai alat bantu yang berfungsi menjelaskan apa dan bagaimana film tersebut akan di sampaikan. Setiap struktur cerita baik pada skenario fiksi maupun non fiksi, memiliki logika dan kekuatannya sendiri-sendiri.
Bila membuat film edukasi (pendidikan/penyuluhan) atau instruksional, sebelumya perlu memperhatikan untuk kelompok sasaran mana film ini ditujukan. Misalkan membuat tema mengenai penyakit kangker, bila sasarannya untuk umum maka cukup menjelaskan penyebabnya, gejalanya, serta akibatnya secara umum pula. Karena penonton harus mampu menangkap dan mengerti secara mudah informasi apa yang disuguhkan, dimana realita tersebut dapat dilihat dan dirasakan dalam kehidupan sehari-harinya. Apabila sasarannya pada kelompok khusus, seperti mahasiswa kedokteran, perawat, petugas penyuluhan kesehatan, maka sutradara perlu mengetahui terminologi medis yang berhubungan dengan suatu penyakit, atau menggunakan penasihat ahli bidang medis.
Dari hasil riset penulis kurang lebih sudah mengetahui bagaimana struktur penuturan yang akan disusunnya. Penulis juga mengetahui gambaran apa yang dapat divisualisasikan, dan kemungkinan-kemungkinannya. Apabila harus menggunakan materi visual (footage) harus diteliti lebih dahulu apakah masih layak pakai atau tidak. Materi visual yang bisa didapatkan, merupakan faktor penting atau faktor kemudi bagi penulisan dokumenter.
Sering pula terjadi informasi yang terkumpul dari riset terlalu banyak, sehingga penulis kesulitan untuk menyeleksi informasi mana yang tepat untuk tema. Hal utama yang menjadi titik tolak seleksi informasi ialah, penulis dapat mengawalinya dengan mengamati hal utama dari peristiwa, sehingga mampu melukiskan konflik-konflik yang ingin diungkapkannya. Kemudian setelah itu penulis dapat menganalisanya lebih jauh, untuk mengkongkritkan akurasi informasi yang ada, serta yang masih dibutuhkan. Suatu hal yang menjadi kenyataan bahwa tidak ada penulisan skenario yang sempurna, setiap penulis memiliki gaya pendekatan kreatif yang berbeda.
Naskah awal untuk dokumenter biasa dibuat dalam bentuk Treatment, tetapi ada pula yang dalam bentuk skenario kasar. Maksudnya kasar disini adalah isi naskah tidak menampilkan detil aspek filmis seperti tipe shot, isi dialog wawancara, posisi kamera (camera angle) dan lain-lainya. Pembaca draft naskah cukup diberi informasi mengenai apa isi dan susunan penuturan di dalam film dokumenter tersebut. Bagi penulis sendiri untuk menyerahkan ide cerita ke sponsor sebelum perjanjian atau kontrak kerja di sahkan, lebih baik dalam bentuk draft. Karena penanganan terhadap pelaku tindakan hukum terhadap pembajakan hak cipta di Indonesia belum mampu memberi jaminannya secara menyeluruh, oleh karena itu tak ada ruginya anda melakukan antisipasi.
Treatment
Penulisan treatment untuk produksi dokumenter memiliki fungsi penting. Fungsi treatment tak hanya menuliskan tentang urutan adegan (scene) dan shot saja, tetapi harus ditulis secara kongrit keseluruhan isi yang berkaitan dengan judul dan tema, sehingga merupakan The Treatment of TheStory.
Umumnya ketika memulai melakukan shooting, sutradara cukup mengacu pada treatment karena selain penulisan skenario memakan waktu lama, juga dianggap oleh sebagian dokumentaris dapat mengekang kebebasan. Karena seorang sutradara dan penata kamera selalu harus siap dan peka selalu ketika mengikuti adegan demi adegan yang berlangsung dalam peristiwa tersebut, bahkan kadang adegan tak terduga (spontan) dapat saja terjadi saat perekaman gambar (shooting). Skenario baru ditulis pada saat memasuki tahap proses paska produksi untuk kepentingan editor, itupun sudah dalam bentuk naskah editing (editing script). Akan tetapi pada beberapa bentuk penuturan dokumenter, skenario sangat dibutuhkan sebagai cetak biru yang lengkap diatas kertas.
Pada beberapa dokumenter memang diperlukan naskah seperti dokumenter sejarah, dokumenter pendidikan dan instruksional, dokumenter film kompilasi dengan menggunakan sejumlah footage. Bentuk penuturan potret/biografi umumnya juga mengandalkan skenario. Dokumenter sejarah umumnya dituturkan secara kronologis, sehingga kreatifitas editor diperlukan untuk menginterpretasikan rancangan kronologi penuturan yang sudah di susun penulis naskah beserta sutradara. Mungkin pada dokumenter yang tidak memerlukan sisipan footage film, treatment kadang dibuat secara step out-line saja. Dimana susunan adegan dan pengambilannya ditulis pada out-line. Akan tetapi pada prinsipnya minimal anda membuat treatment yang baik agar rekan kerja anda pun dapat memahami apa ide anda dan apa yang diinginkan dari film tersebut.
Di dalam treatment harus di jelaskan mengenai apa yang akan divisualkan atau direpresentasikan dalam dokumenter tersebut. Penempatan narasi dan komentar, khususnya pada adegan dimana visual tidak mampu menyampaikan informasi yang dibutuhkan penonton, harus diinformasikan di dalam treatment, meskipun isi narasi tak perlu ditulis secara kongkrit. Apabila ada wawancara maka dalam treatment perlu pula dijelaskan, meskipun isi wawancara tidak perlu ditulis secara menyeluruh, dengan memberikan catatan pada bagian isi wawancara yang utama. Selain itu sebuah treatment juga sudah memberikan alur cerita jelas, serta atmosfir bagi penataan suara yang diperlukan.
Berikut ini diketengahkan contoh sebuah Treatment yang merupakan bentuk umum di dalam dokumenter. Ini bukan bentuk baku karena ada pula tretament yang ditulis lebih sederhana lagi sehingga seperti sebuah catatan, di pihak lain ada pula treatment yang penjabarannya lebih luas dari pada contoh dibawah ini. Segala bentuk treatment di tulis sesuai dengan kemauan dan kebutuhan dari si pembuat itu sendiri. Akan lebih menarik bila isi treatment dilengkapi pula dengan sejumlah gamabr visual hasil riset.
Publikasi:
Yayasan Komunikatif
www.komunikatif.org