Film vs Teater

Film dan teater pada dasarnya berasal dari satu cabang kesenian, yaitu seni peran. Hampir, jika tidak bisa dibilang semua, peradaban mengenal bermacam jenis tontonan yang mengandalkan kekuatan cerita dan seni  berakting. Namun saat ini teknologi telah memberikan begitu banyak kemudahan sehingga perlahan masyarakat termanja dengan bentuk yang lebih compact dan menarik, yaitu film. Alasannya sederhana: lebih mudah diakses, lebih murah, lebih mudah dimengerti, dan berteknologi. Akankah seni peran tradisional seperti teater ditinggalkan masyarakat?

Gedung bioskop yang menjamur di Jakarta seperti memberi isyarat bahwa gelora menonton film dewasa ini semakin tinggi. Harga tiket masuk yang turun akibat persaingan antar perusahaan penyedia bioskop juga memicu masyarakat untuk berbondong-bondong menuju tempat hiburan yang satu ini.

Pada sisi lain, penonton teater jarang sekali memenuhi gedung pertunjukkan. Hanya kelompok teater dengan nama-nama besar yang bisa dijadikan jaminan kursi habis terjual. Selebihnya harus cukup puas dengan penonton seadanya dari kalangan yang itu-itu juga. Mengapa hal ini terjadi? Apa saja yang ditawarkan film sehingga dapat menggeser kedudukan teater sebagai hiburan rakyat? Apa saja kekurang teater sehingga sulit membuat penontonnya duduk manis sampai pertunjukan usai?

Berdasarkan taksiran atas sinyal-sinyal tersebut, South Jakarta melakukan sebuah survey kecil-kecilan terhadap beberapa pembaca berusia 23-35 tahun yang berdomisili di Jakarta. Kami ingin mencari tahu mengapa film lebih populer daripada teater dengan memberikan beberapa pertanyaan yang berkaitan dengan hal ini.

Hasil survei tersebut menyatakan bahwa 73% responden lebih menyukai menonton film, 17% lebih suka menonton teater, dan 10% tidak bisa memutuskan lebih suka yang mana. Apa saja alasan responden terhadap pilihan mereka? Berikut hasil survey South Jakarta.

Film Lebih Mudah Dimengerti
Alasan ini mencuat menjadi alasan utama para responden dalam memilih preferensi tontonan. Menurut mereka, film lebih mudah dimengerti karena alurnya jelas dan ceritanya lebih sederhana. Berbeda dengan teater yang dapat membingungkan dan berpindah-pindah fokus, film tampak sebagai sebuah paket siap saji yang dapat dinikmati kapan saja dan di mana saja. Tidak perlu menyiapkan sebuah kondisi tertentu untuk menonton film.

Film Memiliki Beragam Efek Visual
Teknologi adalah kata kuncinya. Semakin rapih dan mulusnya teknologi efek visual membuat semua tampak nyata. Dari Star Wars sampai Lord of the Rings, dari animasi sampai fantasi, semua bisa diwujudkan dalam bentuk film. Berbagai pemuas indera dapat tersaji bulat-bulat di depan mata penonton. Lain halnya dengan teater yang dianggap hanya dapat menyuguhkan pertunjukan sederhana tanpa didukung teknologi tinggi.

Film Mudah Diakses
Tentu saja ini menjadi alasan yang sangat masuk akal. Pertama, gedung bioskop jauh lebih banyak jumlahnya dibanding gedung pertunjukan. Bioskop tersebar luas di mana-mana, sehingga mudah untuk didatangi, sedangkan gedung pertunjukan masih dapat dihitung dengan jari. Kedua, masa tayang film di bioskop jauh lebih lama daripada teater, sedangkan masa tayang pementasan teater rata-rata 2-3 hari saja. Ketiga, film dapat disebarluaskan hanya dengan membawa reel film, sedangkan untuk mengadakan “distribusi” pementasan, teater harus membawa seluruh pemain dan kru berulang-ulang. Selain itu, film juga dapat dinikmati di rumah dengan perangkat pemutar VCD dan DVD, pun banyak bajakannya yang beredar. Teater tidak dapat diperlakukan sama karena rekaman pertunjukan teater tidak sama dengan pementasan karena tidak ada interaksi antara panggung dengan penonton.

Info Film Lebih Mudah Didapat
Para responden mengeluhkan betapa sulitnya mendapat informasi tentang pementasan teater. Mereka merasa harus melakukan usaha ekstra, seperti menghubungi gedung-gedung pertunjukan untuk mendapatkan info tersebut. Berbanding terbalik dengan info jadwal film yang sudah sangat mudah diakses, baik melalui website, telepon, bahkan sms. Wajar saja jika gedung pertunjukan kosong, penonton tak tahu ke mana harus mencari informasi terpadu soal pertunjukan teater.

Film Lebih Banyak Pilihan
Sebagai produk berteknologi tinggi, cakupan film jauh lebih luas daripada teater. Genre apapun dapat direalisasikan oleh film sedangkan teater bisa jadi sangat terbatas. Dari segi jumlah judul yang beredar, film juga tampaknya mengungguli teater. Penonton dapat datang ke sebuah bioskop dan memilih satu di antara empat atau lima film yang sedang diputar. Hal ini tentunya tak mungkin terjadi di gedung pertunjukan, bukan? Dominasi film Holywood mau tak mau juga “membantu” penonton memilih pergi ke bioskop.

Teater Lebih Spontan
Responden yang memilih teater sebagai preferensi tontonan menyukai teater karena unsur spontanitasnya. Sebenarnya, tak ubah dengan film, teater juga berjalan berdasarkan naskah. Namun, setelah tirai dibuka dan panggung terlihat, apapun bisa terjadi. Salah mengucap dialog, penempatan properti yang tidak semestinya, sampai mati lampu dapat terjadi saat pementasan berlangsung. Pada film, hal-hal seperti ini telah melalui proses editing sehingga hilang kesan spontanitasnya.

Teater Lebih “Apa Adanya”
Sentuhan “apa adanya” membuat beberapa responden jatuh cinta pada pertunjukan teater. Menurut para responden, pemain teater tidak harus cantik, tidak perlu tinggi besar, tidak perlu kurus langsing. Di atas panggung, yang penting adalah akting dan kepaduan antara semua unsur yang mendukung sebuah pementasan, seperti pencahayaan, tata letak, musik, hingga para pemainnya sendiri. Mungkin karena itulah teater dianggap apa adanya dan merakyat.

Teater Lebih Menarik karena Live
Saat tirai ditarik, semua yang terjadi di atas panggung menjadi konsumsi penonton. Seberapapun berantakan atau kacaunya, semua sudah milik penonton karena sifatnya yang live (langsung). Hal-hal seperti ini tidak bisa didapatkan di film yang sudah dipangkas sana-sini agar siap menjadi sebuah paket yang lengkap dan bersih, jauh dari kesan live.

Teater Lebih Imajinatif
Beberapa responden menyukai teater karena menonton teater membutuhkan daya imajinasi yang tidak sedikit. Dengan ruang lingkup panggung yang seadanya, sebuah pementasan harus bisa menyajikan sebuah hiburan yang menarik dan menyampaikan pesan kepada penonton. Pada saat menonton film, penonton mengonsumsi apapun yang disajikan di layar sehingga hanya ada sedikit ruang untuk berimajinasi.