Pasang Surut Perfilman Nasional

Perkembangan perfilman nasional belakangan ini memang boleh dibilang cukup mengesankan. Ini mengingat penonton Indonesia sendiri mulai bersedia meluangkan waktu untuk menonton film nasional. Bahkan di antaranya cukup getol mengikuti perkembangan film Indonesia. 

Tumbuh berkembangnya perfilman Indonesia memang cukup memprihatinkan. Selama 12 tahun lamanya, perfilman Indonesia sempat mati suri alias mengalami kevakuman. Tidak ada satu pun produksi film dinilai bagus pada tahun 1990-an ke atas.
Munculnya sineas baru seperti Riri Reza, Mira Lesmana, Nia Dinata dan masih banyak sineas lainnya belakangan ini justru menjadi pelopor bagi kebangkitan perfilman Indonesia.
Lain film, lain pula tayangan-tayangan televisi. Justru di saat perfilman Indonesia mengalami kevakuman, tayangan-tayangan televisi, seperti sinetron, infotainment dan talk show mengalami booming dan semakin digemari. Tapi apa yang terjadi sekarang? 
Tayangan televisi yang awalnya memberikan kisah-kisah sinetron menarik, kini berubah bentuk dan nuansanya. Tayangan televisi lebih banyak diisi dengan tayangan-tayangan sinetron berbau mistik sarat balutan religi. 
Tak pelak, kontroversi mengenai tayangan-tayangan tersebut sempat merasuk di kalangan masyarakat. Sebagian masyarakat senang dan sangat menikmati hiburan tayangan-tayangan mistis-agamis. Namun sejumlah kalangan menilai, cerita-cerita seperti itu tidak memiliki kelayakan untuk dikonsumsi oleh sebagian besar penonton televisi Indonesia, khususnya anak-anak.
Inikah yang diharapkan oleh para pencipta film dan sinetron di Indonesia? Siklus yang hampir sama terjadi pada keterpurukan film di masa lalu manakala film-film berbau mistis mulai merajai pasaran. Akibatnya, penggemar film pun satu per satu mulai mundur untuk menyaksikannya. Mereka lebih memilih menonton film-film produksi luar negeri ketimbang film-film lokal.
Dua belas tahun lamanya, perfilman Indonesia tertidur pulas. Kini setelah terbangun kembali dan Piala Citra kembali diperebutkan, lagi-lagi film-film bertajuk horor secara perlahan mulai bermunculan. Sebut saja, film Jalangkung, Bangsal 13, Di Sini Ada Setan, dan Rumah Pondok Indah. 
Seolah sejarah yang sama mulai terulang. Dan tampaknya pencipta film kurang sensitif terhadap keinginan pasar masyarakat Indonesia sendiri.
Kisah misteri yang mencekam dan menakutkan memang bisa menjadi satu bumbu menarik untuk dijadikan tontonan. Tapi bukan berarti penonton akan bisa menimkati bila terus disuguhi kisah-kisah serupa tanpa adanya pembaharuan dalam kisah itu sendiri.
"Siklus perputaran gender film ini bukan menjadi satu-satunya alasan bagi runtuhnya perfilman di Indonesia," kata Mira Lesmana saat dihubungi Suara Karya melalui telepon genggamnya. "Bagi saya, penyebab utama semua itu adalah kurang adanya perhatian pemerintah untuk mendirikan sekolah-sekolah film itu sendiri," ujarnya. 
Menurut istri Mathias Muchus ini, kreativitas seorang insan film menjadi modal utama untuk mencerahkan dunia perfilman belakangan ini. Namun kalau harapan yang besar demi perkembangan film Indonesia ini hanya ditumpukan pada segelintir insan film yang memiliki idealisme tinggi tentang perfilman, perkembangan film nasional akan terus tersendat-sendat.
Untuk menunjang hal tersebut, PT Amanja Mega Persada sebagai mitra PT Modern Photo Tbk, distributor produk-produk film dari Fuji melakukan kerja sama dengan Parfi (Persatuan Artis Film Indonesia). Sebagai organisasi insan insan film di Indonesia, Parfi dipercaya membuka sebuah kelas tempat kursus membuat film. 
Yang diharapkan, tempat kursus seperti ini maka akan memberikan pembaharuan bagi perkembangan film nasional di masa-masa mendatang. Dengan demikian, film-film Indonesia benar-benar bisa menjadi alat komunikasi yang mendidik bagi masyarakat luas.
"Kursus seperti itu memang bisa membantu. Tapi alangkah lebih baiknya kalau pemerintah memberikan perhatian melalui jalur akademis yang benar, tanpa melalui kegiatan-kegiatan kursus yang hasilnya bisa kurang mendalam," Mira Lesmana, kakak kandung musisi jazz Indra Lesmana ini.
Bagaimana pun kursus membuat film hanyalah merupakan jalur cepat bagi seseorang untuk bisa mengetahui seluk beluk perfilman. Kelas-kelas seperti ini tidak bisa menjadi salah satu tempat penyaluran apresiasi film bagi insan film itu sendiri. "Kursus hanya membantu, tidak lebih," ujar Mira pula. 
Menurut Mira, sekolah akademis perfilman di Indonesia sampai sekarang masih terbatas. Padahal sekolah akademis perfilman sangat penting bagi perkembangan film-film nasional agar semakin bermutu. Sekolah akademis perfilman, tidak hanya mendidik siswa membuat film. Tetapi, mereka juga diarahkan jalur kariernya. Perkembangan perfilman nasional belakangan ini memang boleh dibilang cukup mengesankan. Ini mengingat penonton Indonesia sendiri mulai bersedia meluangkan waktu untuk menonton film nasional. Bahkan di antaranya cukup getol mengikuti perkembangan film Indonesia. 
Kenapa pemerintah tidak mulai memprakarsai berdirinya sekolah akademis perfilman nasional?


Sumber