Belum lama ini terjadi kehebohan seputar isu penarikan atau
pemberhentian pemutaran Film Asing terutama dari Hollywood di Indonesia.
Isu penghentian suply Film Asing ke Indonesia, tentu saja
mencengangkan banyak pihak, terutama para pelaku film, pecinta sinema,
hingga para pelaku yang bergelut di dunia layar lebar. Spontan isu ini
melebar menjadi topik-topik perbincangan hangat di kalangan pemerhati
film.
Budayawan sekaligus pemain film Sujiwo Tedjo, seperti dikutip
inilah.com, menganggap penarikan film Hollywood merupakan
kesewenang-wenangan fihak Amerika Serikat (AS). Padahal menurutnya,
sekalipun pajak film naik, produsen film Hollywood tetap untung.
"Jadi menurut aku itu cuma kesewenang-wenangan pihak Amerika saja dan
pasti mereka akan menang," ujar Sujiwo Tedjo di Jakarta, Minggu
(20/2/2011).
Namun melangkah maju dari amarah Sudjiwo Tedjo, fakta “menyakitkan”
dari pecinta film di Indonesia mengundang silang sengketa di antara
mereka. Mereka terjebak pada dominasi dua pendapat yang nyaris
bertabrakan: antara yang mendukung dengan yang menolak, yang gembira
dengan nestapa.
Kalangan yang mendukung pemberlakuan pemberhentian pasokan film asing
melihat bahwa hal ini adalah peluang emas bagi perfilman Indonesia
untuk dapat maju dengan pesat. Tidak hanya itu, mereka menganggap bahwa
importir perfilman asing terlalu serakah karena berusaha untuk tidak
menyetujui kenaikan pembebanan pajak yang nantinya akan diterapkan.
Berbeda pendapat dari kalangan kontra, fihak yang menolak memiliki
argumen nyaris bertolak belakang. Pada dasarnya kubu yang melayangkan
aksi penolakan terbagi pada dua tema. Pertama, mereka menolak karena
berhentinya pasukan film asing ke Indonesia akan menandakan matinya
kreatifitas sineas muda.
Mereka melihat bahwa sineas muda Indonesia berpeluang berada pada
jurang stagnasi kreatifitas mengingat mereka kini tidak lagi memiliki
informasi update tentang trend film dunia. Film Indonesia selama ini
tidak juga memberikan warna baru yang bisa menandingi laju perkemangan
film-film Holywood, kata mereka.
Sedangkan, aktris kawakan, Jajang C. Noer, dalam wawancaranya di
Metro TV beberapa waktu lalu menyatakan tidak ada kaitannya antara
pemberhentian film asing dengan majunya film Indonesia. Jajang ingin
mendebat kalau tidak mau dibilang menunda optimisme sebab selama ini ia
menilai tidak ada kaitan berarti antara melesatnya film Indonesia
simetris dengan menjamurnya film Asing di bumi pertiwi.
Bahkan Norca Massardi, orang yang kita kenal aktif sebagai juri film,
memiliki perspektif lain. Ia melihat pada konten lebih jauh pada laju
perekenomian bioskop-bioskop di Indonesia.
“Bioskop 21 Cineplex punya sekitar 500 layarnya di Indonesia. Sebagai
pihak yang diberi hak untuk menayangkan film impor akan kehilangan
pasokan ratusan judul film setiap tahun. Itu layar akan menganggur,
bahkan bisa ditutup kalau tidak ada yang bisa ditayangkan.” kata Noorca
Masardi sebagai juru bicara 21 Cineplex, seperti dikutip seputarkita.
Info, 19 Februari 201.
Pria yang lahir 56 tahun lalu ini, menyimpulkan bahwa penyelenggara
bioskop adalah fihak yang akan dirugikan dari dampak pemberhentian
pasokan film asing. Bioskop selama ini menjadi salah satu bagian dari
pergerakan ekonomi nasional dalam bidang hiburan.
Sebagaimana diketahui, setiap kopi film impor yang masuk ke
Indonesia, selama ini sudah dikenakan bea masuk+pph+ppn sebesar 23,75%
dari nilai barang. Selain itu, selama ini, pemerintah melalui Ditjen
Pajak dan Kemenkeu juga selalu menerima pembayaran pajak penghasilan 15%
dari hasil eksploitasi setiap film impor yang diedarkan di Indonesia.
Seperti dikutip kompas.com 18 februari lalu, tindakan ekspor film
diambil lantaran MPA (Motion Picture Association, yang berwenang
melakukan peredaran film hollywood di Indonesia) merasa keberatan dengan
peraturan pajak bea masuk atas hak distribusi film impor di Indonesia
yang berlaku efektif bulan kemarin. MPA protes dan menilai produk mereka
seharusnya bebas bea masuk impor.
Argumentasi MPA, kemudian dibantah Heri Kristiono selaku Direktur
Teknis Kepabeanan. Seperti dikutip forum.kompas.com, 20 Februari, Heri
Kristiono mengatakan bahwa pengenaan bea masuk bukan hal baru, melainkan
aturan lama yang mengacu pada ratifikasi Artikel 7 kesepakatan
Organisasi Perdagangan Dunia (WTO).
Menyambung daripada itu semua, Noorca berharap pemerintah bisa
mempertimbangkan kembali ketentuan baru tersebut sehingga bisa terus
memberikan ruang kepada publik untuk mendapatkan hak hiburan
seluas-luasnya.
"Prihatin atas keputusan pihak asing yang tidak mau lagi
mendistribusikan filmnya ke Indonesia, kami yang bergerak di bidang
bioskop hanya bisa berharap dan berdoa semoga pihak MPA bisa kembali
mendistribusikan film ke Indonesia," lanjut Noorca Masardi.
Pertanyaannya kemudian adalah dimanakah posisi kita sebagai umat
muslim melihat gejala ini? Apa sikap kita melihat tantangan global sudah
ada depan mata kita? Saya berharap jawabannya adalah kita menolak film
asing asing sekaligus juga tidak mendung asumsi bahwa ini adalah arus
untuk memajukan film nasional.
Logikanya sederhana saja: betulkah Motion Picture Association yang
bernaung di Amerika Serikat tidak mampu membayar pajak dari negara
“kecil” seperti Indoseia. Masuk nalarkan Amerika yang selama ini
terkenal melemparkan faham hedonisme dan hura-hura lewat film-filmnya
merasa frutasi hanya karena pembiayaan pajak bea masuk+pph+ppn sebesar
23,75% dari nilai barang.
Atau jangan-jangan ini adalah bagian dari konspirasi, taktik,
strategi mereka yang ingin melihat jutaan remaja Indonesia, dewasa,
pemuda-pemuda muslim, dan wanita berjilbab turun ke jalanan mengemis
agar Holywood kembali ke Indonesia. Semuanya ini mereka lakukan demi
membuka mata kita semua: Siapakah raja dan tempat bergantung
sesungguhnya masyarakat Indonesia selama ini?
Kita lupa siapakah Motion Picture Association. Kita lupa siapakah
adikuasa sebenarnya di balik nama besar mereka, dan kita lupa apa misi
mereka sesungguhnya. Motion Picture Association of America (MPAA) tidak
lain adalah asosiasi zionis dalam kancah perdagangan nirlaba Amerika
Serikat yang bertujuan memajukan kepentingan bisnis lewat studio film.
Ia didirikan pada tahun 1922 sebagai asosiasi perdagangan untuk
industri film Amerika. Sementara itu, Motion Picture Export Association
of America (Asosiasi Ekspor film Amerika, disingkat MPA) dibentuk tahun
1945 untuk memajukan pemasaran film Amerika di seluruh dunia, dan
membuka proteksi impor di berbagai negara terhadap film Amerika Serikat.
Anggota MPAA sendiri terdiri dari enam studio besar Hollywood yang
terkait erat dengan Jaringan Yahudi Internasional dalam kancah perfilman
diantaranya: The Walt Disney Company, Sony Pictures, Paramount Pictures
(Viacom—DreamWorks), 20th Century Fox (News Corporation, Universal
Studios (NBC Universal, dan Warner Bros. (Time Warner).
Oleh karena itu kita sebagai umat musli tidak boleh alpa terhadap
yang dikatakan Samuel Zweimmer, Ketua Umum Asosiasi Agen Yahudi pada
sambutan pembukaan Konferensi Yerusalem di tahun 1935 jauh sebelum
invasi perfilman zionisme melanglang buana ke seluruh dunia, khususnya
Indonesia.
Bayangkan mereka sudah merancang bagaimana faham-faham zionis akan
disebarkan ke berbagai mancanegara melalui media apapun. Ketika kita
tidur, ketika kita belajar, ketika kita beraktifitas, mereka secara
rapih memasang ancang-ancang bagaimana suatu saat kelak masyarakat
muslim akan jauh dari agamanya, dan bertekuk lutut didepan wajah mereka,
tanpa kita sadari.
“
Yang perlu saudara-saudara perhatikan adalah bahwa tujuan misi
yang telah diperjuangkan bangsa Yahudi dengan mengirim saudara-saudara
ke negeri-negeri Islam, bukanlah untuk mengharapkan kaum muslim beralih
ke agama Yahudi atau Kristen. Bukan itu. Tetapi tugasmu adalah
mengeluarkan mereka dari islam, menjauhkan mereka dari islam, dan tidak
berpikir mempertahankan agamanya. Di samping itu saudara-saudara harus
menjadikan mereka jauh dari keluhuran budi, jauh dari watak yang baik…
Saudara-saudara patut mengetahui bahwa para tetua kita sangat gembira
dengan segala apa yang telah saudara-saudara hasilkan. Oleh sebab itu,
lanjutkanlah perjuanganmu demi risalah agamamu. Semoga saudara-saudara
semua mendapat berkat dari Tuhan kita, Elohim, Allah yang Maha Suci dan
Maha Agung. Lanjutkanlah perjuangan ini hingga dunia benar-benar
terberkati.”
Dan keniscayaan pidato itu sekarang ada di depan mata kita. Tidak usah jauh-jauh: Di Layar Kaca Perfilman Indonesia.
Di depan mata anak-anak kita yang mengantri tiket untuk menonton film
Indonesia dan Amerika tapi mensisipkan faham kabbalah, theosofi, hingga
ateisme.
Semuanya dikemas secara menghibur, dan diam-diam menikam Islam. Selamat Datang di dunia konspirasi kawan.
Yahudi memang memiliki banyak cara menjauhkan umat Islam dari
agamanya. Kita dahulu masih melihat film-film Indonesia mengobral cinta
utopis belaka. Namun seiring trend dan laju liberalisme yang pesat,
tengoklah kita bisa menyaksikan deretan film-film yang menyudutkan Islam
tanpa melihat akar persoalan. Dan tak jarang cover film-film ini
dipenuhi deretan award dari kontes Film Internasional.
Melecehkan Islam
Film "3 Doa 3 Cinta" (2008), misalnya, film besutan Nurman Hakim ini
meraih penghargaan Grand Prize of the International Jury pada
International Festival of Asian Cinema Vesoul, Perancis. Menurut Nurman
Hakim dan Nan Achnas, salah satu juri dari India yang trauma terhadap
kejadian penyanderaan di Mumbai mengucapkan terima kasih atas film
tersebut karena mengingatkan pentingnya menjaga kerukunan dan saling
menghormati keyakinan yang berbeda.
Padahal film ini begitu menyudutkan pesantren. Dikisahkan salah
seorang pengajar di pesantren melakukan homoseksual dengan santrinya.
Tidak hanya itu, ada pula adegan ciuman serta prilaku tak senonoh
seorang santri saat mengintip tubuh anak perempuan sang kyai.
Terakhir,
Nurman Hakim malah membesut Film terbarunya Khalifa (2010). Film ini
menurut pengamatan penulis tidak imbang menjelaskan konteks poligami dan
seakan menggring bahwa wanita bercadar bersuamikan teroris. Padahal
banyak pula wanita bercadar di Indonesia tidak menyetujui tindak
terorisme.
Pluralisme Agama
Walhasil media menyudutkan Islam melalui media layar lebar bisa
beragam cara. Invasi media liberalisme sangat terasa setelah Film
Perempuan Berkalung Sorban (PBS) melayangkan kontroversi. Akan tetapi,
Hanung Bramantyo, sang sutradara, tak lama lagi akan melahirkan film
yang lebih heboh dari PBS. Sebuah film dengan gambar besar kalimat tanda
tanya dilanjutkan dengan ungkapan “Masih Pentingkah Kita Berbeda” akan
rilis di Bioskop-bioskop Indonesia mulai 7 April 2011 ini.
Dari tampilan gambar yang disajikan dalam trailernya, tampak sebuah
gereja, masjid, dan kelenteng bergantian hadir. Namun dibalik tampilan
tempat ibadah berbagai agama itu ada ucapan yang nantinya kita akan
faham bahwa mau dibawa kemana arah film ini. Simaklah, bait yang
dilontarkan oleh seorang aktor tersebut berikut ini:
“Manusia tidak hidup sendirian di dunia ini.
Dia memilih jalan setapak masing-masing.
Semua jalan setapak itu berbeda-beda,
namun menuju satu jalan yang sama
dan satu tujuan yang sama yaitu Tuhan.”
Menariknya, narasi itu dihembuskan berbarengan dengan adegan seorang
wanita Kristiani beribadah di gereja, pemuda ketika tengah mengaji, lalu
disambut seorang ibu yang tengah melaksanakan ritual di Klenteng.
Ketika kita sambung adegan ini bersamaan dengan kalimat:
Semua jalan setapak itu berbeda-beda, namun menuju satu jalan yang sama, dan satu tujuan yang sama yaitu Tuhan,
jelas apa pesan yang diinginkan oleh Hanung Bramantyo: Kesatuan
agama-agama. Sebuah mitos dari Kabbalah Yahudi untuk menciptakan
kedamaian dunia yang kini berubah nama beken seperti Pluralisme Agama,
Multikulturalisme, hingga Inklusivisme. Padahal gagasan PAGANIS
(Pluralisme, Multikulturalisme, dan Inklusivisme) tak lain adalah upaya melenyapkan agama-agama menuju
satu agama saja, yakni Yahudi. Ini termaktub dalam protocol of zion ke
14.
Diupayakan di dunia ini hanya satu agama, yaitu agama Yahudi.
Oleh karena itu segala keyakinan lainnya harus dikikis habis. Kalau
dilihat di masa kini, banyak orang yang menyimpang dari agama. Pada
hakekatnya kondisi seperti itulah yang menguntungkan yahudi.
Gagasan pluralisme jua menjadi trademark Film My Name Is Khan. Film
ini rilis tahun 2010 lalu dibawah perusahaan Yahudi Fox Search Light.
Menariknya kendati film ini dirilis oleh perusahaan Yahudi, banyak umat
muslim terpukau atas aksi Shahrukh Khan.
Film yang banyak
dibintangi aktris papan atas India ini dikatakan sebagai sebuah film
yang patut diapresiasi oleh umat muslim karena menceritakan seorang
mukmin sejati yang memperjuangkan nasibnya di Amerika. Perlakuan
diskriminasi, marjinalisasi dan intimidasi penduduk Amerika terhadap
muslim pendatang pasca tragedi 11 September disebut-sebut menginspirasi
sang sutradara, Karan Johar, untuk membuka mata dunia.
Pertanyaannya adalah betulkah Film My Name Is Khan ditujukan untuk
membangkitakan rasa persaudaraan dan simpati terhadap umat muslim atau
ini hanya sebuah alih-alih dari misi sesungguhnya, yakni doktrinasi
pemahaman Pluralisme Agama? Apakah kita yakin, Fox Search Light yang
notabene adalah jaringan bisnis Zionis dalam dunia hiburan memiliki niat
tulus untuk mensyiarkan agama Islam di muka bumi? Dan masuk logikakah
Zionis yang selama ini justru tertawa melihat umat Islam tersudut dalam
tragedi 9/11, bangkit lalu menyatakan penyesalannya dan menggantikan
penyesalan itu dengan menelurkan film ini? Mari kita cermati baik-baik.
Dalam Film berdurasi 160 menit itu, Khan kecil, digambarkan hidup
dalam situasi penuh konflik antara agama Islam dan Hindu. Saat itu ia
mendengar sekelompok umat muslim tengah marah, dengan mengatakan,
“musnahkan dan hancurkan….”. Mendengar suara-suara penuh amarah itu,
Khan kecil selalu mengulangnya sampai tiba di rumah.
Ibu Khan
sangat kaget dan melarang Khan berbicara seperti itu. Maka sang Bunda
memberikan pelajaran yang akan mengubah seluruh jalan hidup Khan
selanjutnya, dengan mengatakan kepada Khan kecil, “Di dunia ini hanya
ada dua perbedaan, yaitu kebaikan dan kejahatan. Baik, manakala
seseorang berbuat kebaikan, dan Jahat manakala seseorang berbuat
kejahatan, jadi tidak ada Muslim dan Hindu”.
Jika kita tidak cermat membacanya, Film ini bisa merusak aqidah dan
mengantarkan penonton pada kesimpulan bahwa standar kebaikan dan
keburukan terletak pada nilai-nilai kemanusiaan. Akhirnya dengung ini
sekarang menggema di seantero dunia lewat ungkapan: lebih baik menjadi
humanis daripada relijius tapi jahat. Lebih baik tak bertuhan, daripada
beragama tapi tak manusiawi.
Hamid Fahmi Zarkasy, dalam tulisannya Religius-Humanis, mengatakan
bahwa di Barat memang telah terjadi perubahan orientasi masyarakat dari
teosentris (Tuhan sebagai pusat) menjadi anthroposentris (manusia
sebagai pusat). Dengan doktrin empirisisme, Tuhan dianggap tidak riel,
sedangkan manusia begitu riel dan kasat mata. Membela Tuhan,
mementingkan Tuhan, menghormati Tuhan atau mensucikan Tuhan dianggap
sia-sia dan tidak ada gunanya. Sebab dalil orang-orang Humanis persis
dengan para pengusung PAGANIS: “Tuhan tidak perlu dibela karena sudah
Maha Kuasa”.
Selain film Tanda Tanya, sebelumnya nuansa pluralisme agama juga
hadir dalam film “3 Hati, Dua Dunia, Satu Cinta.” Lewat Film yang
disutradari Benni Setiawan ini, dikisahkan jalinan cinta antara Rosid
dan Delia terjadi kala mereka masih menjadi mahasiswa di sebuah kampus.
Ketertarikan antara Rosid dan Delia bermula dari karakter yang dimiliki
masing-masing. Rosid adalah pemuda nyentrik dengan rambut kribo yang
ingin menjadi penyair. Sedangkan Delia adalah pemudi manis dan cenderung
pendiam yang kepincut dengan syair-syair Rosid.
Namun cerita
cinta keduanya terhalang jurang yang tidak bisa mereka lalui. Mereka
berbeda agama. Rosid berasal dari keluarga Arab-Betawi Muslim yang kuat
memegang kuat tradisi. Dan dalam diri Delia mengalir darah Manado yang
Katolik. Cerita makin dramatis ketika orang tua mereka tidak menyetujui
jalinan cinta terlarang itu. Namun perbedaan itu tidak menghalangi
mereka untuk melanggengkan cinta diantara keduanya.
Jadi di film ini, bahwa agama memang sudah tidak lagi menjadi
persoalan penting dan prioritas dalam mengarungi bahtera rumah tangga
seperti kata Madame Balavatsky, pengusung theosofi, bisa jadi betul.
Sebab Agama sudah tidak dianggap relevan sebagai sebuah prinsip, apalagi
prinsip cinta. Padahal Allah jelas memberi tuntunan bagi kita dalam
memilih pasangan yang baik.
Firman Allah SWT (yang artinya):
“Dan janganlah kamu menikahi
wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak
yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik
hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan
wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang
mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu.
Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan
dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya
(perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil
pelajaran.” (QS. Al-Baqarah [2] : 221)
“Kafir di Bioskop”
Makar zionis yang
melalaikan umat Islam lewat film-film Holywood, ternyata kini berada di
atas angin. Sebab saat ini, mereka tidak usah pusing-pusing
mengobrak-abrik Islam lewat tangan mereka sendiri. Saya jadi teringat
ucapan Nirwan Syafrin, Ustadz muda lulusan Malaysia yang kini aktif
membendung faham liberalisme Islam di Indonesia. Ia pernah berujar,
“Dulu kita masih kafir dengan dibiayai (beasiswa) mereka, sekarang kita
kafir dengan biaya sendiri”. Saya lantas termenung dan bergumam dalam
hati, “Bahkan kita dikafirkan masal dalam sebuah gedung bioskop.”
Ironis.
"Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungjawabannya." (QS. Al-Isra’ [17] : 36)
. Insya Allah bersambung
Sumber