Siapa bilang tidak semua orang dapat membuat film. Yah, kalo yang dimaksud video kelas .3gp mah, anak SMP juga bisa. Tapi bukan itu yang akan saya bicarakan sekarang. Saya ingin bicara tentang film kehidupan dan cara-cara mudah membuatnya. Tetapi sebelumnya, ada satu syarat yang harus dipenuhi sebelum menghabiskan membaca artikel ini. Mari kita semua memakna film secara berbeda. Jauh berbeda dengan yang kita tonton di bioskop. Jauh berbeda yang kita tonton di layar TV kita. Mari memaknai film sebagai sebuah narasi kehidupan yang dapat kita indera dan rasai sebagai mahluk yang “menjadi”.
Baik, sekarang kita mulai dulu memahami apa itu film. Dalam penciptaannya, film adalah suatu gambar 2 dimensi yang memiliki sifat berkebalikan dengan realitas yang sebenarnya. Gambar tersebut kemudian ditembakkan ke atas sebuah media (kertas atau kain) untuk dapat menghasilkan suatu gambar yang lebih mendekati kenyataan (dan tidak terbalik). So, sekarang mari kita bersepakat bahwa film merupakan kebalikan dari kenyataan tetapi juga mendekati kenyataan.
Sedikit lagi sebelum menapak bumi, saya ingin mengajak pembaca berdansa di alam abstraksi. Bicara tentang film (atau segala sesuatu di dunia) tak bisa lepas dari waktu. Sifat film yang sangat menonjol adalah mampu menarik ingatan manusia mengenai masa lampau, yang dalam hal ini masa ketika film itu dibuat. Kebalikan dari itu, berarti film dibuat untuk kemudian dapat dinikmati di masa depan agar manusia masa depan dapat memahami apa yang terjadi di masa kini.
Akhirnya sampailah kita pada bahasan tentang film yang mengalami penyempitan makna sehingga orang mengartikannya sebagai sebuah cerita yang diceritakan melalui rangsang audio-visual sehingga kita dapat menikmatinya dengan makan pop corn dan minum coke. Mungkin itulah yang akan terlintas ketika kita mendengar kata “nonton film”. Pada pengertian itu pula, kita mulai memahami bahwa film memiliki cerita. Kadang begitu dekatnya cerita dengan realitas kita sehingga film dapat memberikan inspirasi kepada penontonnya untuk “berbuat”.
Nah, jika film dipahami seperti itu, bukankah setiap hari kita selalu membuat film? Apa yang sedang kita lakukan dan pikirkan sekarang (pada saat ini) akan menjadi sebuah pengingat di masa depan. Saya ingin sedikit mengusik cerita-cerita kontemporer yang difilmkan. Sebut saja cerita Pak Habibie, mantan presiden RI ke-3. Siapa sangka apa yang dia lakukan selama berpuluh-puluh tahun yang lalu ternyata menjadi cerita yang dapat dibagikan kepada sesama dalam bentuk film layar lebar.
Keunikan dari film adalah pembuatnya memiliki kebebasan untuk memilih cerita. Dalam film Pak Habibie, produser dan sutradara kompak mengangat cerita tentang percintaan Pak Habibie dengan istrinya. Mungkin selain lebih menjual, juga disesuaikan dengan karakter penonton Indonesia yang lebih suka film bergenre “Drama”. Tapi bolehkan kita bercerita tidak tentang cinta dalam film Pak Habibie. Jawabannya tentu saja boleh (bayangkan jika film Pak Habibie menceritakan tentang Reformasi ’98! Hehe..). Kembali lagi dalam membuat film kita dibebaskan untuk memilih cerita.
Yak! Di atas saya sudah meminta pembaca untuk memahami film sebagai narasi kehidupan manusia dalam ke”menjadi”an. Tapi apa maksudnya, mari kita berjalan-jalan lagi sembari mengobrol santai. Ke”menjadi”an adalah suatu akibat dari proses memaknai sekaligus melakukan. Saya tidak ingin membuat pembaca pusing, jadi cukup segitu saja pengertian tentang ke”menjadi”an. Selanjutnya setelah kita memaknai film seperti yang telah kita lakukan di awal membaca artikel ini, mari kita cermati kembali hidup kita selama ini. Bagian mana dari hidup kita yang tidak dapat kita angkat ke dalam sebuah film. Saya bantu jawab, “TIDAK ADA!”
Benar kawan… Tidak ada semenit pun bagian dari hidup kita yang tidak dapat dibuat film. Cerita-cerita hidup kita begitu berharga. Saking berharganya sampai-sampai kita sendiri tidak menyadarinya. Kalimat tersebut klise tapi cukup powerful. Jika kawan-kawan bisa memperoleh inspirasi dari film-film layar lebar, tentu seharusnya kawan-kawan juga dapat memperoleh inspirasi dari film buatan sendiri. Pertanyaannya adalah maukah kita membuatnya?
Seorang teman pernah bercerita bahwa dalam membuat film itu mudah. Kita cukup identifikasi situasi yang ada, peran para tokoh, tantangan yang dihadapi sang tokoh, aksi yang dilakukan dan penyelesaian dari masalah yang hadapi. Setelah kita identifikasikan hal tersebut maka tinggal menambahkan bumbu-bumbu ajaib dalam meraciknya. Bisa percintaan, kebencian, kemarahan, kegembiraan, intrik, pengkhianatan, kerja sama, keteladanan, kebaikan, kekecewaan ataupun kekonyolan. Semuanya tergantung selera pembuat film.
Nah, terus bagaimana membuat film jika tidak punya peralatan yang memadai?
Baik kawan, saya akan ajak anda berjalan masuk ke dalam diri dan tubuh anda masing-masing. Sekali lagi saya ingatkan, di awal kemunculannya, film bersifat kebalikan dan mendekati kenyataan. Jadi apapun yang terbalik dan mendekati kenyataan itu dapat disebut film. Masih ingatkah kawan tentang pelajaran anatomi tubuh, khususnya tentang indera penglihatan. Bahwa apa yang diterima oleh lensa mata akan dikirimkan ke otak secara terbalik dalam bentuk sinyal. Saya tambahkan, masih tentang anatomi tubuh. Kali ini berhubungan dengan sensor syaraf. Bahwasanya otak kita merangsang tubuh secara terbalik. Otak kanan merangsang bagian tubuh sebelah kiri. Otak kiri mengirimkan sinyal syaraf pada tubuh bagian kanan. So, dari awal mula penciptaan ternyata tubuh kita berkebalikan.
Lalu apa hubungannya dengan peralatan membuat film?
Dengan gegap gempita saya akan sorakkan TUBUH KITA ADALAH MEDIA YANG TEPAT UNTUK MEMBUAT FILM! Jadi segala peralatan atau perlengkapan pembuat film sebenarnya telah melekat pada tubuh dan diri kita. Dan media yang paling primitif dan paling mudah dijumpai pada tubuh kita adalah cortex cerebri. Kita biasa mengenalnya dengan istilah “memori”. Nah, sekarang cerita apa yang ingin kita film-kan, tentu keputusan itu diserahkan kepada diri masing-masing.
Ingat kawan, tidak seluruh cerita biasa kita simpan. Kita harus memilih satu di antara beberapa. Dengan begitu, kita tidak membutuhkan mekanisme “lupa” untuk me-recycle memori yang tidak kita butuhkan. Jadi, film apa yang kita butuhkan dan yang tidak kita butuhkan, mari berefleksi dengan diri kita masing-masing. Namun, apa yang harus kita lakukan untuk membuat film pertama kali?
Well, ini bukan langkah praktis. Setiap orang pasti memiliki caranya sendiri. Dalam pengalaman yang saya lakukan, pertama yang saya lakukan adalah mencermati tahun-tahun kehidupan saya ke belakang. Apa yang saya lakukan, tidak bukan adalah memberikan judul pada setiap tahun kehidupan yang saya ingati. Memang semakin muda kita, semakin berkurang ingatan kita tentang kehidupan di masa itu. Oleh karenanya, saya batasi tahun kehidupan saya dimulai pada usia 5 tahun. Paling tidak memori yang tersamar masih bisa terasa dan terinderawi secara mental.
Dari usia 5 tahun, saya teruskan berjalan ke usia-usia setelahnya. Setiap tahun pasti memiliki kesan yang mendalam. Kesan itulah yang saya pilih sebagai judul film. Misalkan pada suatu tahun kehidupan, secara financial saya mengalami krisis, maka saya akan berikan judul “Gerakan Anti Kemapanan”. Atau dalam tahun-tahun tertentu saya mengalami pasang surut percintaan, maka judul film saya adalah “Don Juanis Gagal”. Tentang judul yang bernilai positif atau negatif, hal itu bukan soal. Sekali kita memberi makna terhadap hidup kita, maka nilai positif yang akan kita dapatkan.
Baiklah, tips di atas berguna untuk pembuatan film di masa lalu. Kemudian, untuk film kita di masa depan, apa yang perlu kita siapkan? Rupanya cerita teman saya tentang membuat film bisa kita terapkan di sini. Pertama, kita cek situasi saat ini seperti apa. Lihat saja sekeliling diri kita, pekerjaan, keluarga, pertemanan, percintaan, permusuhan, persaingan dan sebagainya sebagai bahan untuk lakukan identifikasi. Selanjutnya tetapkan peran diri anda sebagai apa dalam situasi yang telah berhasil diidentifikasi.
Langkah selanjutnya adalah menetapkan tantangan apa yang akan kita hadapi dalam situasi dan peran tersebut. Dalam hal ini kita dapat berikan sedikit bumbu-bumbu ketegangan (konflik) agar tidak membosankan. Bisa itu konflik percintaan, pertemanan, pekerjaan, bisnis, keluarga, atau apapun. Berikutnya tetapkan apa yang akan diri kita lakukan dalam menghadapi tantangan tersebut. Sisi heroism bisa saja muncul dalam bagian ini. Di akhir film silahkan lihat bagaimana ending film tersebut. Apakah si tokoh utama (diri kita) berhasil menyelesaikan tantangan atau justru kegagalan yang mendera.
Apapun yang dihasilkan oleh tokoh utama, tentu akan menjadi menarik bagi penontonnya. Satu hal kawan yang ingin saya ingatkan. Penonton itu adalah diri kita sendiri di masa depan. Saya menyebutnya sebagai the future of ‘I’. Tentu di masa depan itu, kita sedang mempersiapkan film baru dengan situasi baru, peran baru, bahkan tantangan baru. Mengikutinya tentu saja cerita yang baru pula. Seperti kata Ahmad Albar hampir 20 tahun yang lalu, dunia ini panggung sandiwara, ceritanya mudah berubah.
Sumber